Kesepakatan perdamaian Aceh seyogyanya harus dipahami sebagai kemenangan bersama seluruh bangsa Indonesia. Bukan hanya kemenangan pihak-pihak tertentu saja mengingat pengorbanan yang timbul bukan hanya di satu pihak saja. Kegagalan memaknai hal ini bisa mencederai perdamaian Aceh. Rakyat Aceh menunggu kebijaksanaan pemimpin di atas agar arif memaknai situasi saat ini. Agar memandang jauh ke depan daripada mengejar kepentingan jangka pendek saja.
Adalah hak setiap kelompok masyarakat untuk menunjukkan eksistensinya dengan menggunakan simbol-simbol tertentu. Simbol ini juga bisa menjadi pembeda antara kelompok satu dengan yang lain. Lumrah kita temukan klub olahraga, komunitas, dan bahkan di tingkatan formal, terdapat simbol-simbol yang membedakan antara satu kementrian dengan kementrian lain, antara satu daerah dengan daerah lain. Namun yang terjadi saat ini justru kebalikannya, ketika Aceh menentukan sendiri benderanya, reaksi negatif pun muncul dari banyak kalangan. Padahal secara mandat undang-undang, keleluasaan Aceh sebagai satu daerah istimewa adalah memiliki simbol-simbol sendiri dalam kerangka NKRI sudah disepakati. Kenapa reaksi yang timbul beragam dan kebijakan Dewan perwakilan rakyat daerah Aceh (DPRA) menuai pro dan kontra?
Tanpa bermaksud menambah keruh situasi pro-kontra ini yang timbul saat ini, saya  mencoba menganalisis kebijakan ini menggunakan prinsip "Do No Harm", suatu kerangka pikir yang diperkenalkan oleh Marry B. Anderson untuk menganalisis bantuan kemanusiaan pada daerah konflik dan paska konflik. Pada dasarnya kerangka ini berguna untuk menilai tidak hanya program bantuan saja, namun juga berguna untuk menilai intervensi lain (program pembangunan) di daerah konflik dan paska konflik.
Salah satu prinsip dalam kerangka Do no harm ini adalah apakah intervensi yang dilakukan bisa memperkuat ikatan di masyarakat (Connector) ataupun intervensi ini malah membuat semakin tajamnya perbedaan-perbedaan (Divider) antara kelompok-kelompok yang ada di satu wilayah konflik atau paska konflik.
Dalam konteks bendera bulan bintang dengan les hitam putih Aceh, penetapan bendera ini kita anggap sebagai suatu intervensi yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh yang berpengaruh kepada kehidupan masyarakat. Kebetulan (atau kesengajaan), bendera itu mirip sekali dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Apakah bendera ini divider atau connector bagi rakyat Aceh?
Ketua DPRA menyatakan bahwa bendera ini harus dilihat sebagai lambang persatuan rakyat Aceh. Dan keinginan memiliki simbol ini adalah aspirasi yang perlu dihargai oleh semua pihak, termasuk pemerintah pusat. Namun kenyataannya beberapa kelompok masyarakat di Aceh terutama dari Aceh bagian tengah dan pantai Barat menunjukkan hal lain dengan menandingi parade bendera Aceh dengan parade bendera merah putih. Bisa kita bayangkan apa yang terjadi seandainya konvoi bendera Aceh dan konvoi bendera merah putih bertemu di satu tempat. Beberapa teman di Aceh juga mendiskusikan ketidaksetujuan mereka terhadap penetapan bendera bulan bintang ini. Namun sekali lagi, ini bukan soal setuju tidak setuju, tapi apakah bendera ini mampu menjadi penghubung (connector) ataukah malah menjadi pemecah (divider)?
Penetapan bendera Aceh ini harus dikaji ulang dengan sebaik-baiknya. Mengapa? karena luka akibat konflik yang sangat panjang di Aceh masih belum sembuh benar. Keberadaan bendera Aceh bisa mempertajam perbedaan antar kelompok. Perlu diingat bahwa ketika konflik, masyarakat terbelah paling tidak menjadi kelompok pro kemerdekaan, pro NKRI,atau tidak pro sama sekali. Semua kelompok ini merasakan pahit dan sadisnya masa konflik tanpa kecuali. Walaupun ada kelompok yang  lebih besar dari yang lain, tidak berarti bahwa yang kecil bisa diabaikan. Benih-benih perbedaan akan tersemai kembali dan satu saat, bisa menjadi permusuhan dan akhirnya jadi pencetus munculnya konflik bersenjata.
Trauma konflik dialami oleh setiap orang tanpa memandang di kelompok mana mereka berada. Semua merasakan kepedihannya, bahkan untuk orang yang tidak berada pada kelompok manapun menerima dampaknya. Jadi alangkah baiknya jika trauma itu disembuhkan dengan hal-hal yang positif. Yang memperkuat ikatan-ikatan sosial di masyarakat. Bukan memperkuat ikatan kelompok tertentu saja dan mengeyampingkan keberadaan kelompok lain.
Presiden SBY menyatakan bahwa Aceh jangan mundur ke belakang. Pernyataan ini jangan dimaknai bahwa pemerintah pusat berusaha mengacaukan keistimewaan Aceh dan mencurigai Aceh akan membuat makar. Tapi harus dilihat dengan perspektif "do no harm." Perkuatkan hal-hal yang mampu menjadi perekat (connector) dan hilangkan hal-hal yang berpotensi merenggangkan dan mempertajam perbedaan yang dapat merusak perdamaian.
Kesepakatan perdamaian Aceh seyogyanya harus dipahami sebagai kemenangan bersama seluruh bangsa Indonesia. Bukan hanya kemenangan pihak-pihak tertentu saja mengingat pengorbanan yang timbul bukan hanya di satu pihak saja. Kegagalan memaknai hal ini bisa perdamaian Aceh di kemudian hari. Rakyat menunggu kebijaksanaan pemimpin di atas agar arif memaknai situasi saat ini. Agar memandang jauh ke depan daripada mengejar kepentingan jangka pendek saja.
Bendera sebagai simbol Aceh adalah satu  hal penting yang dapat memicu semangat juang rakyat untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Oleh karenanya, semua pihak diharapkan duduk bersama menentukan tujuan dan arah kemajuan Aceh di masa depan dan kemudian menentukan simbol apa yang bisa mewakili semangat tersebut. Semoga Aceh bisa lebih maju dengan status yang disandangnya saat ini dan menjadi inspirasi bagi daerah-daerah lain di Indonesia.