Setelah usai debat capres pertama, salah satu yang dikuatirkan pengamat adalah jika Jokowi terpilih jadi presiden nanti, beliau tak mampu mengurus negara ini dengan pendekatan model blusukan karena negeri ini terlalu luas. Tak mungkin dia tiap hari jalan ke pelosok negeri sebagaimana hobinya blusukan di Jakarta. Penekatan blusukan dianggap hanya kompatibel dengan luas wilayah yang kecil sekelas kota atau kabupaten. Saya coba berargumen bahwa blusukan tidak seharusnya diterjemahkan secara harfiah ketika diuji kompatibilitasnya dalam pengelolaan sebuah pemerintahan. Blusukan harus dimaknai secara lebih filosofis. Menurut saya blusukan harus dimaknai sebagai simbolisasi pemerintahan yang partisipatif, inklusif dan mau mendengarkan rakyatnya.
Blusukan bukan hal yang baru. Paling tidak berdasarkan klaim dari satu cawapres yang mengatakan sudah 14 tahun blusukan sebelum jadi menteri. Blusukan memang bukan hal yang baru dan bukanlah milik Jokowi seorang. Bahkan blusukan sudah dikenal dalam tata perencanaan pembangunan negeri ini. Tengoklah UU 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Disitu tertera bahwa system perencanaan pembangunan nasional salah satunya bertujuan untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Ini bisa diartikan bahwa rakyat perlu didengar pertimbangan dan masukannya untuk merencanakan pembangunan. Rakyat tidak bisa ditinggalkan begitu saja dan menyerahkan rencana pembangunan kepada para teknokrat dan politisi. Blusukan adalah cara untuk menjaring aspirasi masyarakat, mendengarkan apa yang rakyat pikirkan untuk kemudian dituangkan dalam rencana pembangunan dan tentunya penganggaran.
[caption id="attachment_328525" align="aligncenter" width="436" caption="Musrenbang, pengejawantahan konsep blusukan. (sumber ilustrasi: Depoknews,com)"][/caption]
Kemudian yang diragukan orang apakah presiden harus blusukan untuk mendengarkan aspirasi masyarakat? Tentunya perlu tapi mungkin tidak selalu efisien, hanya pada kasus yang penting saja. Oleh karena itu blusukan diterjemahkan dalam system perencanaan pembangunan nasional menjadi MUSRENBANG (Musyawarah Perencanaan Pembangunan). Yang merupakan forum berbagai pemangku kepentingan untuk mendiskusikan rencana pembangunan. Rakyat termasuk di dalamnya yang harus ikut hadir dan didengar pendapatnya.
Lebih jauh lagi, blusukan dalam bentuk Musrenbang harus dilakukan mulai dari tingkat kampong/desa, kecamatan, kabupaten, propinsi dan nasional. Dan Musrenbang ini harus dilakukan setiap tahun sebagai bentuk operasional dari blusukan tadi dan menjadi syarat wajib sebelum pemerintah menentukan rencana pembangunan tahun selanjutnya.
Yang ingin saya sampaikan disini adalah bahwa ide untuk mendengarkan aspirasi langsung dari masyarakat bukan merupakan hal baru. Atau dengan arti kata blusukan yang dilakukan oleh Jokowi akan dengan mudah diterapkan di tingkat nasional serta sudah ada regulasi dan mekanisme yang mengatur hal tersebut. Ide bahwa pemerintahan harus partisipatif, inklusif dan mendengar dari rakyat itulah yang ingin ditekankan oleh Jokowi. Dia menyimbolkannya dalam bentuk blusukan. Ketika dia terpilih jadi presiden apakah beliau akan terus blusukan? Saya yakin dia akan tetap blusukan. Tapi dengan dua model. Satu blusukan model symbol dan blusukan model Musrenbang.
Jadi jangan kuatir dengan blusukan tidak kompatibel dalam pemerintahan nasional. Karena sesungguhnya blusukan yang ditampilkan oleh Jokowi saat ini adalah symbol pemerintahan yang partisipatif, inklusif dan mendengarkan rakyatnya. Untuk soal itu, kita semua sudah jauh-jauh hari setuju dan terbukti dengan adanya Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional itu.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H