Mohon tunggu...
Daniar Camilla Farhan
Daniar Camilla Farhan Mohon Tunggu... -

freelancer di Jeddah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Aku Telpon Ibu, dan Aku Nangis

21 Juli 2011   07:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:30 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Nyuk ! Ada 'barang' di exit 5, cepetan dijemput."

Suara dari seberang itu adalah perintah yang tak boleh dibantah. Lelaki gempal berjenggot lebat dan berkopiah ala kyai itu segera meloncat ke mobil. Begitu handphone ditutup maka mobil GMC bikinan Amerika itu segera melesat, menerobos keramaian, memasuki highway Khurais dan mengambil jalur cepat. 15 menit kemudian mobil itu sudah keluar ke service road dan berhenti didepan Ghanati Building. Ia mengambil handphone di saku untuk menghubungi seseorang.Tetapi begitu diangkat justru makian yang diterimanya.

"Goblok kamu ! Bukan didepan gedung itu, 'barangnya' ada di depan Carefour Le Mall. Cepetan!, keburu di ambil orang Pakistan."

Handphone dilemparnya ke dashboard, mobil kembali dipacu kencang. Carefour Le Mall hanya tiga blok dari tempatnya berhenti,tetapi ia seperti kesetanan menginjak pedal gas. Handphone kembali menyalak, secepat kilat diambilnya. Tangannya sedikit gemetar.

"Orangnya pendek, dia bawa tas warna merah motif serangga. Dia sudah ketakutan di pinggir jalan. Sedari tadi supir-supir Pakistan sudah mengelilinginya seperti hiu mencium daging berdarah.Cepetan !!!"

Begitu sampai di Le Mall ia segera menajamkan mata, pusat perbelanjaan itu dikelilinginnya dengan teliti. Tepat di depan gate 2 dia melihat seorang perempuandengan ciri-ciri persis seperti yang disebutkan bossnya. Meskipun seluruh muka ditutup, tetapi bahasa tubuh yang takut dan gelisah sangat jelas terbaca. Satu-dua taksiPakistan terlihat berhenti, tetapi perempuan itu menggeleng keras, merundukkan tubuhnya ke tiang beton. Memeluk tas merahnya erat. Jelas sekali, perempuan itu adalah 'barang' yang harus segera dijemputnya.

"Ayo, ikut saya !"

________________________________________________________________________________

Di kamar itu ada dua perempuan. Mereka sedang duduk di ranjang. Yang satu memakai kaos ketat berwarna merah dan rok hitam pendek, pahanya yang gempal menyembul lega. Rambutnya diurai sebahu, di cat merah pada tepinya. Warna yang sangat dipaksakan untuk wajah kampung dan kulit coklatnya. Ia menatap acuh dan menyuruh masuk pada gadis yang baru saja bergabung.

"Selamat datang di istana para kaburan, mbak." Lalu dia tertawa kenes. Dadanya berguncang, juga lega. Sepertinya tak ada kutang yang meyangga. Sungguh perempuan yang sangat bebas terbuka. Seakan baju yang menutupinya itu hanya hiasan. Tak sanggup menyamarkan apa yang ada di dalam.

Perempuan yang satunya lagi sedikit lebih sopan. Bajunya serba panjang. Tapi riasan di mukanya mirip sekali dengan penyanyi dangdut kelas teri yang tengah mengejar popularitas. Sepertinya ia menghabiskan satu batang lipstik untuk menyulap bibirnya menjadi setangkup mawar merah.

"Sini, mbak. Nggak usah takut lagi. Di sini aman,kok." Katanya bersahabat.

Perempuan itu melangkah kikuk. Warna pias di pipinya belum hilang. Perjalanan selama 20 menit tadi sungguh mendebarkan. Mobil-mobil polisi yang terparkir di pinggir jalan seperti malaikat pencabut nyawa yang tengah mengintai. Bibirnya nyaris terlipat karena doa-doa yang tak pernah berhenti terucap. Entah sudah berapa mangkok air mata yang keluar.

Kabur dari majikan memang bukan perkara mudah. Apalagi jika majikan itu serupa iblis  yang sangat tahu bagaimana memenjarakan budak agar tak bisa lepas dari kekejamannya. Dan Surti merasa beruntung bisa bertemu dengan Rudi. Pemuda yang mengaku bekerja di toko Indonesia itu menawarkan jasa.Merancang bagaimana agar ia bisa kabur.

__________________________________________________________________________________

Sudah dua orang Pakistan hinggap di atas tubuhnya, dan ini adalah tamu ketiga. Surti berharap ini tak lama. Pagi tadi ia menitip Rudi untuk membelikannya pulsa. Entah mengapa tiba-tiba ia sangat kangen dengna ibu di rumah. Wajah tua itu selalu menguntit ke manapun ia pergi. Meski mata terpejam, mata kuyu ibunya sanggup menembus kelopak mata. Membuatnya sedih dan tak bergairah melayani para tamu.

"Bu..., Ibu kenapa ?"

Lama tak terdengar suara. Hanya ada helaan nafas tertahan dari seberang.

"Ibu mikirin kamu, Sur. Hati ibu selalu tak tenang. Kamu baik-baik saja di sana, kan ? Gimana majikan kamu ? Apa dia masih suka marah-marah ? Masih suka mukulin kamu ?"

Surti mendekap mulutnya. Sekuat tenaga ia menahan tangis. Tapi ia tak sanggup. Air mata mengalir deras. Selama ini ia tak pernah memberi tahu ibunya bahwa ia sudah lari dari majikan dan ia menjadi pelacur di tempat penampungan.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun