Dalam era digital yang semakin maju, batas antara manusia dan mesin semakin kabur. Teknologi telah meresap ke dalam hampir setiap aspek kehidupan kita, mulai dari cara kita berkomunikasi hingga cara kita bekerja dan memahami diri kita sendiri (Hendayani, 2019). Dengan kemajuan dalam bidang kecerdasan buatan, bioteknologi, dan robotika, muncul pertanyaan mendasar: sampai mana kita boleh berubah? Di mana letak batasan yang harus kita jaga sebagai manusia? Salah satu contoh paling mencolok dari fenomena ini adalah pengembangan prostetik canggih yang dapat dikendalikan oleh pikiran. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh tim ilmuwan di University of California, Berkeley, telah menghasilkan prostetik tangan yang mampu merespons sinyal saraf dari otak pengguna (Setiawan, 2018). Dengan teknologi ini, individu yang kehilangan anggota tubuh dapat kembali melakukan aktivitas sehari-hari dengan lebih baik. Namun, meskipun inovasi ini menawarkan harapan baru, kita harus bertanya: apakah kita benar-benar siap untuk menerima batasan baru dalam identitas kemanusiaan kita?
Dalam konteks ini, kritik utama terhadap perkembangan teknologi adalah potensi hilangnya esensi kemanusiaan itu sendiri. Saat kita mengandalkan mesin untuk melakukan fungsi-fungsi dasar yang sebelumnya dilakukan oleh tubuh kita, apakah kita masih bisa disebut manusia? Apakah kita akan terjebak dalam ketergantungan pada teknologi sehingga mengabaikan kemampuan alami kita? Pertanyaan-pertanyaan ini menggugah kesadaran akan pentingnya mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan di tengah arus perubahan yang cepat. Studi kasus lain yang menarik adalah penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam bidang kesehatan (Patriot Haryo Trenggono, 2023). Misalnya, penggunaan algoritma AI untuk mendiagnosis penyakit atau merekomendasikan perawatan medis telah meningkat pesat (Komalasari, 2022). Di satu sisi, teknologi ini dapat mempercepat proses diagnosis dan meningkatkan akurasi. Namun, ada risiko bahwa keputusan medis yang penting akan diserahkan sepenuhnya kepada mesin, tanpa mempertimbangkan nuansa emosional dan sosial yang sering kali penting dalam perawatan pasien. Ketika mesin mengambil alih keputusan yang seharusnya melibatkan empati manusia, kita harus mempertimbangkan dampak jangka panjangnya terhadap hubungan antara dokter dan pasien.
Inovasi dalam penggunaan AI di bidang kesehatan juga membawa tantangan baru terkait privasi dan keamanan data. Ketika data medis pasien dikumpulkan dan dianalisis oleh sistem AI, ada risiko bahwa informasi sensitif dapat jatuh ke tangan yang salah. Dalam konteks ini, batas antara kemajuan teknologi dan perlindungan hak individu menjadi semakin kabur. Kita harus bertanya pada diri sendiri: sampai mana kita bersedia mengorbankan privasi demi kenyamanan dan efisiensi? Lebih jauh lagi, perubahan ini juga menciptakan kesenjangan sosial yang lebih besar. Tidak semua orang memiliki akses yang sama terhadap teknologi canggih. Dalam studi kasus di India, misalnya, penggunaan telemedicine untuk memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat terpencil telah menunjukkan hasil yang positif. Namun, banyak penduduk di daerah tersebut masih kekurangan akses ke internet dan perangkat teknologi yang diperlukan untuk memanfaatkan layanan ini. Ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah kemajuan teknologi benar-benar inklusif, atau justru memperburuk ketimpangan sosial yang sudah ada?
Kritikan terhadap perkembangan teknologi tidak hanya berhenti pada aspek fungsionalitas dan aksesibilitas. Ada juga isu etika yang perlu dipertimbangkan. Dalam upaya untuk menciptakan manusia "superior" melalui rekayasa genetika atau modifikasi genetik, kita harus berhati-hati agar tidak melanggar prinsip-prinsip moral dasar. Misalnya, pengeditan gen menggunakan CRISPR-Cas9 telah membuka kemungkinan untuk menghilangkan penyakit genetik, tetapi juga menimbulkan risiko penciptaan "bayi desain" dengan sifat-sifat tertentu (Anis, 2024). Apakah kita siap untuk menghadapi konsekuensi dari keputusan tersebut? Apakah kita ingin membiarkan ilmuwan menentukan sifat-sifat dasar dari generasi mendatang?
Di tengah semua perubahan ini, penting bagi kita untuk membangun diskusi terbuka mengenai batas-batas manusia. Pendidikan menjadi kunci untuk memahami implikasi dari perubahan yang dibawa oleh teknologi. Generasi mendatang perlu diajarkan untuk berpikir kritis tentang penggunaan teknologi dan dampaknya terhadap kehidupan mereka. Pembuat kebijakan juga memiliki tanggung jawab untuk menetapkan regulasi yang melindungi hak-hak individu tanpa menghambat inovasi. Pada akhirnya, batas manusia dalam konteks perubahan teknologi bukanlah sesuatu yang statis; ia terus berkembang seiring dengan kemajuan zaman. Namun, penting bagi kita untuk selalu mempertanyakan dan merenungkan perubahan tersebut. Sampai mana kita boleh berubah? Jawabannya terletak pada kemampuan kita untuk menjaga keseimbangan antara memanfaatkan teknologi dan mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental.
Kita harus berani menantang diri sendiri untuk tidak hanya menjadi "manusia dalam mesin," tetapi juga "manusia dengan mesin." Dalam perjalanan ini, marilah kita ingat bahwa meskipun mesin dapat meningkatkan kemampuan kita, esensi dari kemanusiaan---empati, kasih sayang, dan hubungan---harus tetap menjadi inti dari siapa kita. Hanya dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa perubahan yang terjadi adalah untuk kebaikan umat manusia secara keseluruhan, bukan sekadar pencapaian teknologi semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H