Mohon tunggu...
Calvin Wie
Calvin Wie Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Program Studi S-1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

LGBT dalam Perspektif Hukum dan Moral: Berangkat dari Kasus Deddy Corbuzier

2 Juni 2022   20:33 Diperbarui: 2 Juni 2022   20:38 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) kembali mengemuka di jagat maya. Kali ini, imbas unggahan podcaster Deddy Corbuzier yang menampilkan pasangan sesama jenis Ragil Mahardika dan Fredrik Vollert dalam kanal YouTube miliknya, Sabtu (7/5). 

Diketahui, Ragil dan Fredrik telah melangsungkan pernikahannya di Jerman pada 2018 lalu. Ragil sendiri merupakan pria asal Medan yang telah berpindah kewarganegaraan menjadi warga negara Jerman agar dapat "melegalkan" pernikahannya.

Lantas, bagaimana hukum di Indonesia memandang fenomena LGBT? Apakah, baik pelaku maupun penyiar fenomena LGBT dapat ditindak secara hukum? Lalu, bagaimana pula fenomena LGBT dalam ranah moral?

 Namun, sebelum itu, perlu diketahui bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi yang menjamin setiap warga negara dalam berekspresi dan mengemukakan pendapatnya di muka umum. Dengan ketentuan, proses penyampaian pendapat tersebut tidak melanggar hukum. 

Di samping itu, setiap warga negara juga berhak untuk memperoleh informasi guna pengembangan dirinya. Hal ini diatur dalam konstitusi negara Republik Indonesia (RI), yakni Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara RI (UUD NRI) Tahun 1945.

Meskipun demikian, penolakan hingga pengecaman atas penyiaran pasangan gay pada kanal YouTube milik Deddy itu tidak dapat dihindarkan. Selama beberapa hari setelah penayangan, video yang berdurasi selama kurang lebih satu jam tersebut mendapatkan respons negatif dari netizen. 

Mereka beramai-ramai menyuarakan "unsubscribe dan unfollow" sebagai bentuk protes kepada Deddy yang dianggap telah mempromosikan pasangan gay di Indonesia. Komentar-komentar miring juga dilontarkan oleh public figure dan pemuka agama yang turut mengungkapkan rasa kekecewaannya pada langkah yang dilakukan oleh Deddy.

 Fenomena semacam ini memang tidak mengejutkan. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat multikultur yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), pada Maret 2022 silam, mayoritas masyarakat Indonesia mengaku sangat atau cukup taat terhadap perintah dan ajaran agama, yakni sebesar 82 persen.

Penolakan dan pengecaman atas tayangan yang diunggah oleh Deddy dapat disebut sebagai penerapan sanksi otonom. Penerapan atas sanksi ini dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk pengendalian sosial manakala terjadi penyimpangan sosial. 

Dalam konteks Deddy, ia mendapatkan sanksi otonom berupa cercaan dan bully-an dari masyarakat atas perbuatannya yang dianggap oleh sebagian besar masyarakat tidak sepatutnya untuk dilakukan oleh seorang public figure. Bahkan, tak sedikit pula netizen yang tidak lagi ingin menonton konten yang bertajuk "Close the Door" itu.

Tidak berhenti sampai di sana, banyak pihak yang meminta agar Deddy dapat diproses secara hukum sehingga dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Permintaan tersebut kemudian berubah menjadi tuntutan manakala masyarakat meminta agar pihak kepolisian dapat menindak Deddy atas perbuatannya. 

Menanggapi hal tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) RI Mohammad Mahfud MD menyatakan bahwa fenomena LGBT tidak atau belum dilarang oleh hukum positif di Indonesia sehingga Deddy tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya secara hukum.

Hal ini berkaitan erat dengan asas legalitas yang menyatakan bahwa tiada delik, tiada hukuman, sebelum ada ketentuan terlebih dahulu. Hal ini merupakan terjemahan dari bahasa Latin: nullum deliktum nula poena sine praevia lege poenali. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), asas legalitas dapat ditemukan dalam Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi, 

"Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas ketentuan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan".

Lebih lanjut, Mahfud MD menyatakan bahwa negara demokrasi harus mendasarkan pada hukum sehingga terbentuk suatu pemerintahan hukum atau nomokrasi. 'Nomos' berarti norma, sedangkan 'cratos' berarti kekuasaan negara yang berdasarkan norma atau hukum. 

Dengan demikian, nomokrasi dapat dimaknai sebagai kedaulatan hukum atau hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Hal ini tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan dengan lugas bahwa "Indonesia adalah negara hukum".

LGBT memang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, terutama sila pertama. Akan tetapi, tidak semua nilai-nilai Pancasila telah diaktualisasikan ke dalam norma hukum. Penerapan sanksi hukum harus mendasarkan pada norma hukum. Dengan demikian, penerapan sanksi heteronom tidak dapat dilakukan. Aparat penegak hukum tidak dapat melakukan penangkapan dan penindakan atas peristiwa yang tidak memiliki dasar hukum.

Mahfud MD, dalam cuitan di akun media sosialnya, juga menambahkan: sama halnya dengan kelompok ateis yang hingga detik ini tidak ditindak secara hukum. Padahal, manusia Indonesia merupakan manusia yang ber-Tuhan yang memiliki kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana bunyi sila kesatu Pancasila, yakni "Ketuhanan Yang Maha Esa". 

Namun, hingga detik ini, orang ateis tidak dapat ditindak secara hukum karena belum terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai larangan bagi kelompok ateis.

Beda halnya dengan penyebaran ajaran marxisme, leninisme, dan komunisme yang nyatanya telah dilarang di Indonesia. Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) RI Nomor XXV/MPRS/1966, segala bentuk penyebaran dan pengembangan paham atau ajaran marxisme, leninisme, dan komunisme dilarang. 

Oleh karena itu, penganut dan/atau penyebar ajaran dan paham tersebut dapat dikenakan sanksi pidana dan dimintai pertanggungjawabannya secara hukum.

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara norma hukum dan moral. 

Norma hukum merupakan seperangkat kaidah yang mengatur masyarakat dalam bertingkah laku dan terdapat sanksi apabila melanggar, sedangkan moral berkaitan dengan tingkah laku lahiriah manusia dalam kehidupan bermasyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun