Mohon tunggu...
Calvin Wie
Calvin Wie Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Program Studi S-1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

LGBT dalam Perspektif Hukum dan Moral: Berangkat dari Kasus Deddy Corbuzier

2 Juni 2022   20:33 Diperbarui: 2 Juni 2022   20:38 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Menanggapi hal tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) RI Mohammad Mahfud MD menyatakan bahwa fenomena LGBT tidak atau belum dilarang oleh hukum positif di Indonesia sehingga Deddy tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya secara hukum.

Hal ini berkaitan erat dengan asas legalitas yang menyatakan bahwa tiada delik, tiada hukuman, sebelum ada ketentuan terlebih dahulu. Hal ini merupakan terjemahan dari bahasa Latin: nullum deliktum nula poena sine praevia lege poenali. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), asas legalitas dapat ditemukan dalam Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi, 

"Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas ketentuan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan".

Lebih lanjut, Mahfud MD menyatakan bahwa negara demokrasi harus mendasarkan pada hukum sehingga terbentuk suatu pemerintahan hukum atau nomokrasi. 'Nomos' berarti norma, sedangkan 'cratos' berarti kekuasaan negara yang berdasarkan norma atau hukum. 

Dengan demikian, nomokrasi dapat dimaknai sebagai kedaulatan hukum atau hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Hal ini tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan dengan lugas bahwa "Indonesia adalah negara hukum".

LGBT memang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, terutama sila pertama. Akan tetapi, tidak semua nilai-nilai Pancasila telah diaktualisasikan ke dalam norma hukum. Penerapan sanksi hukum harus mendasarkan pada norma hukum. Dengan demikian, penerapan sanksi heteronom tidak dapat dilakukan. Aparat penegak hukum tidak dapat melakukan penangkapan dan penindakan atas peristiwa yang tidak memiliki dasar hukum.

Mahfud MD, dalam cuitan di akun media sosialnya, juga menambahkan: sama halnya dengan kelompok ateis yang hingga detik ini tidak ditindak secara hukum. Padahal, manusia Indonesia merupakan manusia yang ber-Tuhan yang memiliki kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana bunyi sila kesatu Pancasila, yakni "Ketuhanan Yang Maha Esa". 

Namun, hingga detik ini, orang ateis tidak dapat ditindak secara hukum karena belum terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai larangan bagi kelompok ateis.

Beda halnya dengan penyebaran ajaran marxisme, leninisme, dan komunisme yang nyatanya telah dilarang di Indonesia. Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) RI Nomor XXV/MPRS/1966, segala bentuk penyebaran dan pengembangan paham atau ajaran marxisme, leninisme, dan komunisme dilarang. 

Oleh karena itu, penganut dan/atau penyebar ajaran dan paham tersebut dapat dikenakan sanksi pidana dan dimintai pertanggungjawabannya secara hukum.

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara norma hukum dan moral. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun