Fenomena lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) kembali mengemuka di jagat maya. Kali ini, imbas unggahan podcaster Deddy Corbuzier yang menampilkan pasangan sesama jenis Ragil Mahardika dan Fredrik Vollert dalam kanal YouTube miliknya, Sabtu (7/5).Â
Diketahui, Ragil dan Fredrik telah melangsungkan pernikahannya di Jerman pada 2018 lalu. Ragil sendiri merupakan pria asal Medan yang telah berpindah kewarganegaraan menjadi warga negara Jerman agar dapat "melegalkan" pernikahannya.
Lantas, bagaimana hukum di Indonesia memandang fenomena LGBT? Apakah, baik pelaku maupun penyiar fenomena LGBT dapat ditindak secara hukum? Lalu, bagaimana pula fenomena LGBT dalam ranah moral?
 Namun, sebelum itu, perlu diketahui bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi yang menjamin setiap warga negara dalam berekspresi dan mengemukakan pendapatnya di muka umum. Dengan ketentuan, proses penyampaian pendapat tersebut tidak melanggar hukum.Â
Di samping itu, setiap warga negara juga berhak untuk memperoleh informasi guna pengembangan dirinya. Hal ini diatur dalam konstitusi negara Republik Indonesia (RI), yakni Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara RI (UUD NRI) Tahun 1945.
Meskipun demikian, penolakan hingga pengecaman atas penyiaran pasangan gay pada kanal YouTube milik Deddy itu tidak dapat dihindarkan. Selama beberapa hari setelah penayangan, video yang berdurasi selama kurang lebih satu jam tersebut mendapatkan respons negatif dari netizen.Â
Mereka beramai-ramai menyuarakan "unsubscribe dan unfollow" sebagai bentuk protes kepada Deddy yang dianggap telah mempromosikan pasangan gay di Indonesia. Komentar-komentar miring juga dilontarkan oleh public figure dan pemuka agama yang turut mengungkapkan rasa kekecewaannya pada langkah yang dilakukan oleh Deddy.
 Fenomena semacam ini memang tidak mengejutkan. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat multikultur yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), pada Maret 2022 silam, mayoritas masyarakat Indonesia mengaku sangat atau cukup taat terhadap perintah dan ajaran agama, yakni sebesar 82 persen.
Penolakan dan pengecaman atas tayangan yang diunggah oleh Deddy dapat disebut sebagai penerapan sanksi otonom. Penerapan atas sanksi ini dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk pengendalian sosial manakala terjadi penyimpangan sosial.Â
Dalam konteks Deddy, ia mendapatkan sanksi otonom berupa cercaan dan bully-an dari masyarakat atas perbuatannya yang dianggap oleh sebagian besar masyarakat tidak sepatutnya untuk dilakukan oleh seorang public figure. Bahkan, tak sedikit pula netizen yang tidak lagi ingin menonton konten yang bertajuk "Close the Door" itu.
Tidak berhenti sampai di sana, banyak pihak yang meminta agar Deddy dapat diproses secara hukum sehingga dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Permintaan tersebut kemudian berubah menjadi tuntutan manakala masyarakat meminta agar pihak kepolisian dapat menindak Deddy atas perbuatannya.Â