Acara Martonggo Raja adalah salah satu bagian dari upacara adat dari suku batak. Acara Martonggo Raja merupakan bagian dari upacara adat kematian dari suku batak. Ketika seseorang masyarakat Batak mati saur matua, maka sewajarnya pihak-pihak kerabat sesegera mungkin mengadakan musyawarah keluarga (martonggo raja), membahas persiapan pengadaan upacara saur matua. (Hitabatak, 2017).Â
Acara tersebut di hadiri oleh pihak - pihak kerabat yang terdri dari unsur-unsur dalihan natolu (sistem hubungan sosial masyarakat Batak). Dalihan natolu terdri dari tiga kelompok unsur kekerabatan, hula-hula (kelompok keluarga marga pihak istri), dongan tobu (Kelompok orang-orang: teman atau saudara semarga), dan boru (Pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan kita, keluarga perempuan pihak ayah).Â
Baca juga: Mengenal Upacara Adat Perkawinan Aso Sule' pada Suku Dayak Taman
Pihak-pihak tersebut diwakili oleh salah satu laki-laki dalam marga tersebut. Acara dilakukan dengan bermusyawarah yang melibatkan beberapa pihak yang ada di atas.
Acara Martonggo Raja adalah bentuk dari musyawarah yang menjadi salah satu budaya di Indonesia dan terdapat dalam Pancasila sila ke-4. Musyawarah, pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah (KBBI). Kegiatan musyawarah biasa dilakukan dalam kelompok. Kegiatan tersebut jika dilihat dari dimensi Hofstede termasuk dalam kolektivisme.
In collective cultures, interpersonal relationships form a rigid social framework that distinguishes between in-groups and out-groups. People rely on their in-groups (e.g., family, tribe, clan, organization) for support, and in exchange, they believe they owe loyalty to that group. (Samovar, Porter, McDaniel, & Roy, 2017, h.224).
Budaya kolektivisme mengadalkan kelompok ketimbang individu, salah satunya dalam mengambil keputusan. Dalam acara martonggo raja, pihak yang terlibat berunding membicarakan pemakaman dan adat yang sesuai.Â
Baca juga: Di Balik Upacara Adat Patorani Masyarakat Galesong
Dalam adat batak, seluruh peristiwa kematian mendaptkan perlakuan adat. Namun ada beberapa hal yang membuat upacara adat kematian mendapat sarat adat seperti,
1. Telah berumah tangga namun belum mempunyai anak (mate di paralang-alangan/mate punu), 2. Telah berumah tangga dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil (mate mangkar), 3. Telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang kawin, namun belum bercucu (mate hatungganeon), 4. Telah memiliki cucu, namun masih ada anaknya yang belum menikah (mate sari matua), dan 5. Telah bercucu tapi tidak harus dari semua anak-anaknya (mate saur matua). (Hitabatak, 2017)
Hal tersebut semakin menentukan bagaimana upacara adat kematian akan dilaksanakan. Keputusan mengenai hal tersebut diputuskan pada acara tersebut Bersama dengan raja adat yang ada. Selain kolektivisme, dalam dimensi Hofstede acara ini juga mengandung budaya maskulin. Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!