Mohon tunggu...
Calvin Layuk Allo
Calvin Layuk Allo Mohon Tunggu... Dokter - Dokter

Pekerjaan saya sebagai dokter spesialis penyakit dalam di salah satu RSUD di Kaliantan Timur

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Polemik LGBT

28 Mei 2018   10:01 Diperbarui: 28 Mei 2018   10:34 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa waktu silam saya mengikuti sebuah acara pelatihan mengenai bagaimana menjadi konselor HIV/AIDS di kota Samarinda, Kalimantan Timur. Di satu sesi, salah seorang pemateri yang sudah cukup berpengalaman menceritakan pengalaman beliau mengenai betapa sulitnya untuk menjangkau para penderita HIV/AIDS.

Kenapa mereka perlu dijangkau? Banyak alasannya, tapi terutama untuk memberi mereka pengetahuan agar tidak menularkan penyakitnya pada orang lain dan agar mereka bisa mendapatkan pengobatan yang layak.

Kenapa mereka sangat sulit untuk dijangkau? Sebabnya karena mereka hanya akan membuka diri pada orang yang betul-betul sudah mereka percayai. Pada hari-hari biasa, mereka bisa tampak sangat "normal".

Hal itu tidak terlepas dari stigma di dalam masyarakat tentang penderita HIV/AIDS. Kalau seorang awam melihat penderita HIV/AIDS kemungkinan besar dalam pikirannya ia akan mengira orang tersebut suka ke tempat prostitusi. Intinya banyak orang yang menganggap mereka penuh aib. Padahal banyak juga dari mereka yang tertular dari pasangannya secara tidak sengaja atau tanpa sepengetahuan mereka, misalnya tertular dari kecelakaan kerja di bidang medis,istri yang tertular dari suami, atau banyak sebab lainnya.

Nah, akhir-akhir ini kita menjumpai "booming" tentang LGBT. Kalau dari perspektif saya, LGBT dan penderita HIV/AIDS itu punya kemiripan (selain tentunya dari hubungan patomekanisme antara keduanya). Kemiripan yang saya maksud adalah mereka sama-sama tertutup. Meski ada juga segelintir yang "terbuka" di muka umum. Tapi saya yakin mereka yang tampak di umum itu hanyalah puncak dari suatu gunung es saja.

Sekarang pertanyaan utamanya adalah, apa yang sebenarnya kita harapkan dari para LGBT ini? Dipenjarakan atau diobati? Karena dari pertanyaan dasar inilah kita akan berangkat.

Kalau niat kita ingin mereka dipenjarakan, maka apa dasarnya? Kecuali bila mereka menunjukkan perilaku seksual mereka di depan umum, maka itu memang akan menjadi masalah. Namun untuk hal itu sebenarnya kan sudah ada undang-undangnya yang mengatur tentang perilaku tidak sopan di depan umum, yaitu pasal 281 KUHP ayat 1 dan 2. Jadi saya pikir tidak ada peraturan baru lagi yang diperlukan untuk hal itu. Entahlah bila para ahli hukum kemudian merasa perlu untuk membuat kekhususan dalam hal ini.

Sekarang, kalau niat kita ingin mencoba "menyembuhkan" mereka--dengan menganggap hal itu sebagai penyakit, maka banyaknya kecaman-kecaman dari masyarakat yang timbul sekarang ini saya rasa malah akan menghasilkan jalan mundur. Mengapa? Karena sama dengan penderita HIV/AIDS yang tertutup tadi, dengan ketakutan yang mereka miliki akibat kecaman-kecaman itu kemungkinan besar akan membuat mereka bersembunyi. Seakan stigma tentang mereka itu sendiri belum cukup.

Untuk hal HIV/AIDS sendiri, saya bersyukur bahwa pemerintah dari yang dulu sampai sekarang telah berjuang keras untuk menghapus stigma terhadap mereka. Dan puji Tuhan mereka ini sudah tidak lagi terlalu dipandang sebagai suatu borok di tengah masyarakat. Akibatnya pengobatan terhadap para penderitanya pun sudah semakin baik, bukan lagi sebagai suatu death sentence seperti jaman dulu. (Itu saja angka temuan secara nasional masih tergolong belum bisa dikatakan baik sekali). Mereka pun bisa tetap berprestasi dan produktif di tengah masyarakat.

Nah, bagaimana dengan penjangkauan terhadap LGBT? Saya rasa masih sangat jauh dari kata baik. Ayolah, bagaimana kita mau mengobati mereka bila mereka menjauh akibat kecaman-kecaman dari kita sendiri? Pada banyak kasus, seseorang akan sangat sulit untuk bisa membedakan mereka dari yang lain. Pagi hari mereka mungkin bisa jadi seorang ayah/suami atau istri/ibu yang sempurna, namun di malam hari mereka bertemu dengan pacar(-pacar) homoseksualnya.

Pikirkan lagi. Saya punya beberapa keluarga dan teman LGBT. Dalam hati yang paling dalam, saya pun sebenarnya ingin mereka menjadi seperti saya dan orang-orang lain yang menganggap diri mereka normal (dari perspektif kita).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun