Suatu hari, di jam pelajaran Inggris, guru saya menerangkan sebuah conversation mengenai compliment. Saat itu, saya duduk di kelas 1 SMP, namun entah mengapa intisari pengajarannya masih lekat di kepala saya hingga sekarang. "Jadi, kalau kalian dipuji orang, misalnya you're beutiful atau your hair  is great, kalian harus bilang Thankyou. Jangan seperti orang-orang Indonesia! Biasanya kalau dipuji malah bilang ah enggak kok!" Ah, benar juga dia! Saya pun sering begitu. Kalau dipuji oleh teman, misalnya, "Lis, bagus tuh potongan rambut baru lo!" Saya malah akan berkelit dengan bilang, "Ah nggak kok. Biasa banget ini mah!" Kenapa saya menjawab begitu? Karena begitu kebiasaan yang saya denarkan. Sebuah kerendahan hati yang terucap melalui sangkalan yang manis, walaupun di dalam hati mengiyakan dan gembira luar biasa. Pasti Anda sering mendengar percakapan Ibu Anda, atau Istri Anda, yang kurang lebih seperti ini: "Jeng, kurusan banget deh." Lalu Ibu atau Saudara Anda umumnya pasti akan berkelit, "Ah kurus dari mana! Aku gemuk gini," walaupun sesunggunya mungkin saja mereka telah diet mati-matian dan meminum jamu tujuh tupa untuk mendapat penampilan yang singset. Mungkin sikap berkelit ini bisa dianggap sebagai bentuk kolot yang serba basa-basi. Sangat berbeda dengan orang-orang barat yang praktis dan cenderung mengungkapkan apa yang dirasa secara langsung. Entahlah mau dipandang sebagai apa, saya menganggap kebiasaan orang Indonesia itu sebagai bentuk kerendahan hati yang sangat menarik. Hal sederhana tersebut menunjukan kultur pendahulu kita yang menjunjung tinggi kerendahan hati. Sikap ini sungguh sangat santun, jauh dari sikap membesar-besarkan pujian apalagi memuji diri sendiri. Sayangnya sih sikap ini sudah langka. Narsisme menjamur dan menginfeksi dengan cepat tanpa mampu ditanggulangi. Fenomenanya, banyak manusia-manusia yang lebih senang memuji dirinya sendiri ataupun kelompoknya. Kerendahan hati seringkali hanya tercantum di buku PPKN adik saya yang duduk di bangku SD. Di realita, kerendahan hati lebih langka dari bunga bangkai. Contohnya, pada akhir Agustus 2010 lalu, ketua DPR yang terhormat membeberkan pencapaian mereka kepada publik. Pencapaian tersebut antara lain, DPR mendapat penghargaan dari Komisi Informasi Pusat terkait sikap aktifnya dalam penerbitan sebuah UU, Sekertariat Jenderal DPR mendapat penghargaan sebagai pengelola arsip terbaik, dan DPR berhasil meluncurkan Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Secara Elektronik/e-procurement melalui Sekjen DPR. "Ini merupakan pertama kali dalam sejarah," ucapnya seperti yang saya kutip dari rakyatmerdekaonline.com. Wah wah wah. Luar biasa ya, Pak? Entah lupa kalau rakyat itu eksis, ada, dan memperhatikan setiap pencapaian DPR, bos DPR membeberkan pencapaiannya pada masyarakat.  Bukannya haram membeberkan pencapaian, namun sikap itu akan membuat publik mau tidak mau kemudian membandingkan antara prestasinya tersebut dengan kegagalan-kegagalannya. Kalau sudah begitu, jadilah pencapaian tadi sebuah titik putih dalam kertas hitam. Kelihatan sih, tapi  kecil dan menjadi minim value-nya. Sama saja seperti Anda menyombongkan klakson mobil Anda yang suaranya menggelegar hingga mampu membuat mobil-mobil berterbangan. Anda memamerkan itu pada tetangga Anda demi memuaskan ego Anda. Namun, Anda toh lupa. Mobil Anda sudah dapat dikategorikan sebagai "Perusak Lingkungan" dan "Rongsokan Kakap" sehingga apa yang Anda beberkan di awal tadi hanya membuat orang geleng-geleng sambil berdecak iba melihat sikap "ingin dipuji" anda. Pada tahun 2010 lalu, Effendi Simbolon, Wakil Ketua Komisi VII DPR, juga pernah mengatakan kalau Bapak Presiden kita narsis. Menurutnya, pidato-pidato Pak Presiden hanya memajang pencapaian-pencapaian sehingga ia terkesan suka memamerkan prestasi. Sebenarnya, wartawan-wartawan kita sekarang memiliki mata elang yang luar biasa tajam. Setitik aib terekspos, begitu pula dengan prestasi. Sebenarnya tanpa membeberkan itu pun, wartawan akan mempublikasikannya dengan baik. Namun, seperti yang saya tuliskan tadi...Menyebutkan daftar prestasi di depan publik adalah tren. Ini tren tren tren, mamen! Saya terinspirasi (siapa juga yang tidak) dengan sosok Agnes Monica. Dia memang bukan politikus atau orang yang mengaku-ngaku politikus tanpa pengetahuan secuilpun tentang politik. Dia adalah aktris serba bisa yang tengah mengepakan sayap ke kancah internasional. Beberapa bulan lalu, saya membaca kabar mengenai duetnya dengan Michael Bolton. Wow! It's such a great achievement! Bedanya, hal itu tidak dipamerkannya kepada masyarakat Indonesia. Kebayang nggak kalau Agnes bilang begini, "Iya, jadi karena gue gaul, seksi, dan punya suara diva, gue digaet sama Michael  Bolton. Gue tuh emang kece banget ya, bro! Duh kagum deh sama diri sendiri!" Well, Agnes didn't say such a thing. Dia malah diam mengenai kabar itu. Pencapaiannya yang luar biasa itu dibeberkan oleh wartawan yang mengetahui tentang hal itu. Kalau kemudian berita itu menjadi besar, itu bukan karena "obralannya" tapi karena pemberitaan dari wartawan. Nah yang itu tuh yang namanya kerendahan hati dan tidak sombong. Akibatnya, masyarakat merasa lebih respect dan terinspirasi. Itulah khasiat dari kerendahan hati yang diwariskan oleh nenek moyang kita! Bahayanya, kesombongan bepotensi berkembang jadi kecongkakan. Kecongkakan bertumbuh menjadi arogansi. Arogansi beranakank sikap merendahkan orang lain. Sikap tersebut tumbuh dewasa menjadi sikap ingin mengontrol orang lain. Nah, kalau dewasa, sikap itu akan memiliki anak-anak berupa: sikap otoriter, suka menindas, dan tuli terhadap aspirasi orang lain. Separah itu kah? Anda yang tentukan sendiri. Saya masih yakin, di setiap diri orang Indonesia, masih mengalir kerendahan hati yang santun. Daripada sibuk mencatat prestasi sendiri dan membeberkannya pada seluruh dunia, alangkah lebih baik untuk sibuk mencari prestasi-prestasi baru. Kewajiban ada untuk dikerjakan dan bukan untuk dibeberkan. Tunjukkan apa yang kau miliki melalui hasil tanganmu dan biarkan orang lain yang memuji dirimu. Jangan kau sendiri yang memuji! Ikutilah ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk. Ingatlah, semakin kau ingin dipuji, semakin banyak orang-orang yang malah...mencelamu. Tidaklah semua menjadi kapten tentu harus ada awak kapalnya…. Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendahnya nilai dirimu Jadilah saja dirimu…. Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri.. (Kerendahan Hati- Taufiq Ismail)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H