Pernikahan dianggap sesuatu yang mengikat dan melalui proses yang sakral. Hubungan antara pria dan wanita yang disahkan di hadapan Tuhan serta dicatat oleh negara menjadi hal yang penting dan memiliki hukum yang mengikat dan diatur di dalamnya. Akan tetapi dalam realitasnya tidak sedikit pernikahan dilakukan oleh dua pihak yakni pria dan wanita yang memiliki keyakinan berseberangan. Hal ini pastinya dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, seperti kehidupan sehari-hari individu di tengah keberagaman agama masyarakat Indonesia, Pengetahuan tentang keyakinan yang dianutnya masih kurang mendalam, latar belakang orangtua, kebebasan yang dimiliki dan globalisasi yang menghilangkan batas interaksi hingga negara lain yang kemungkinan besar menganut agama yang berbeda. Fenomena pernikahan beda agama tidak ditemukan sekali atau dua kali. Banyak sekali contoh pernikahan beda agama yang dilakukan oleh masyarakat dari berbagai lapisan hingga public figure, staf presiden dan masyarakat biasa lainnya.
Kemudian menjadi pertanyaan besar apakah pernikahan beda agama yang terjadi di tengah masyarakat ini memiliki regulasi yang jelas? Setelah itu yang menjadi pertanyaan pastinya pernikahan beda agama ini merupakan pelanggaran hukum atau hanya menjadi pilihan masing-masing individu tanpa campur tangan negara. Apabila dilihat lebih dekat pada kenyataan yang ada pernikahan beda agama ini tetap ada eksistensinya pada masyarakat karena terdapat beberapa cara dalam penyelundupan hukumnya, antara lain dengan memohon untuk mendapat penetapan pengadilan setempat atas pencatatan status perkawinan, perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama, contohnya, di pagi hari melakukan pemberkatan di gereja dan siang hari melakukan ijab qabul sesuai syariat islam. Kemudian melakukan sejumlah cara untuk masuk kedalam agama salah satu pihak untuk sementara sesuai dengan salah satu hukum agama dan yang terakhir adalah melangsungkan pernikahan di luar negeri yang mengesahkan atau memperbolehkan pernikahan beda agama. Melalui cara-cara tersebut biasanya pasangan menghalalkan caranya untuk tetap melaksanakan pernikahan mereka.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa hukum dan masyarakat tidak pernah terlepas untuk saling berkaitan. Sebagai negara hukum, Indonesia juga memiliki peraturan mengenai perkawinan yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan atau disebut sebagai UU Perkawinan. Di dalam UU Perkawinan, secara tertulis tidak ada yang melarang mengenai pernikahan beda agama untuk dijalani. Sementara itu, dalam UU ini, tepatnya pada Pasal 2 ayat 1 juga menegaskan bahwa "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." tentu pasal ini memperlihatkan keabsahan dari pernikahan tetap bergantung pada agama yang dianut pihak yang akan melangsungkan pernikahan. Akan tetapi hal ini menjadi kerancuan apakah masing-masing kepercayaan yang dianut pihak dalam pernikahan ini harus sama atau tidak. Maka dari itu tidak mengherankan jika terdapat cara-cara untuk mengelabui UU Perkawinan seperti yang dijelaskan di atas sebelumnya.
Apabila pernikahan mengacu pada hukum agama, sebenarnya tidak ada satu agama pun yang memperbolehkan umatnya menikah dengan kepercayaan yang berbeda. Salah satunya dalam agama resmi dan agama yang menjadi agama mayoritas di Indonesia, agama Islam. Dalam agama Islam, ada penentangan untuk melakukan perkawinan beda agama. Dijelaskan lebih dalam pada Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 yang berbunyi "Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu" salah satunya "seorang wanita yang tidak beragama islam.". Tidak hanya pada agama islam namun ditemukan juga pada agama Kristen. Di Alkitab tercantum dalam 2 Korintus Pasal 6 ayat 14-15 yang berisi "Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang tak percaya?" dengan demikian dapat dilihat pada hukum agama tidak ada yang dengan mudah memperbolehkan pernikahan beda agama dijalankan
     Â
Melihat regulasi yang ada, dapat dilihat bahwa tidak ada larangan pernikahan beda agama secara pasti. Maka dari itu, benar adanya terjadi kekosongan hukum sehingga penting untuk memiliki peraturan hukum yang baik demi kesesuaian hukum tertulis dalam kehidupan masyarakat. Peraturan harus dituliskan atau dapat ditafsirkan secara jelas sehingga adanya kesamaan hukum yang merata antar peradilan di Indonesia, artinya harus dimulai dari payung hukum yang sama dan diketahui oleh seluruh masyarakat. Hukum sendiri menjadi alat untuk negara dalam menengahkan masyarakat dengan tujuan ketertiban masyarakat. Â mengurangi permasalahan pernikahan beda agama yang menuai pro dan kontra di tengah masyarakat dan menghilangkan penyelundupan hukum yang kerap terjadi.
Pernikahan memang merupakan ikatan dan hubungan dua individu yang menjadi hukum privat, namun UU perkawinan harus disempurnakan agar menjadi hukum yang berlaku bagi setiap orang dengan baik. Ada dua persoalan besar disini yaitu menyangkut agama sehingga tidak akan lepas dari campur tangan negara yang menomorsatukan "Ketuhanan yang Maha Esa". Â Perlu dipahami lebih lanjut bahwa ada konsekuensi atau akibat hukum yang dapat dirasakan jika melaksanakan pernikahan beda agama. Secara yuridis anak yang dilahirkan oleh pasangan yang berbeda agama akan sulit dapat dianggap sah dan tercatat menurut negara hubungan keperdataan dengan ayahnya. Sebab anak yang sah menurut UU Perkawinan Pasal 42 adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah berdasarkan Pasal 2 ayat (2). Tidak sampai disitu, ada dampak lainnya yaitu mengenai masalah warisan nantinya. Di sisi lain dari aspek psikologis. terlihat akan adanya permasalahan silih berganti yang timbul dari perbedaan dan juga anak dari hasil perkawinan nantinya akan mengalami gangguan mental dalam memilih agama untuk dirinya sendiri.
Pernikahan akan selalu menjadi hal yang melekat pada manusia sehingga isu ini tetap hangat dalam perdebatan. Kekosongan hukum yang ada haruslah diisi dan disempurnakan agar mengurangi penyelundupan hukum yang terjadi. UU Perkawinan dapat diatur lebih baik untuk mengatasi fenomena ini. Hingga tulisan ini dibuat persoalan keabsahan pernikahan tetap disangkutkan pada agama maka akan menjadi misi dari negara ini untuk melahirkan produk hukum yang menjembatani berbagai persoalan besar yaitu kebebasan individu, agama yang dianut dan peran negara. Semestinya menjadi perhatian utama sampai batas mana negara mengatur hal ini agar merangkul semua pihak dan pada keputusan akhirnya pilihan untuk melanggar hukum agama menjadi konsekuensi yang harus diterima.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H