NU: Selayang pandang
Nahdlatul Ulama’ (NU) merupakan organisasi keagamaan Islam yang menaungi eksistensi ajaran Sunni atau Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah (Aswaja) terutama di bumi Nusantara. Organisasi ini didirikan di Surabaya pada 16 Rajab 1344H/ 31 Januari 1926M oleh tiga ulama dari Jombang, yakni KH. M. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Chasbullah, dan KH. Bisyri Syamsuri.
Paham keagamaan Aswaja yang diadopsi oleh NU meliputi berbagai bidang, yakni teologi, hukum, dan tasawuf. Dalam bidang teologi atau akidah, mengikuti madzhab Asy’ariyah dan Maturidiyah. Dalam bidang hukum atau fikih, mengikuti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Dan dalam bidang tasawuf mengikuti madzhab Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali.
Gerakan dakwah yang dilakukan NU banyak menggunakan metode yang dilakukan oleh pendakwah Islam di Nusantara terdahulu, yakni dengan mempertahankan budaya lokal yang masih baik dan memperbarui budaya yang kurang baik agar menjadi lebih baik. Selain itu, dalam pengembangan intelektual, NU menaungi banyak pesantren tradisional dan modern, juga menaungi lembaga pendidikan formal mulai dari dasar sampai perguruan tinggi.
Dikotomi NU kultural dan NU struktural dan masing-masing perannya.
      Dalam usianya yang memasuki abad kedua (dalam hitungan Hijriah) ini, NU dalam perjalanannya mengalami berbagai rintangan, termasuk rintangan internal itu sendiri. Oleh karena itu, muncullah dikotomi NU Kultural dan NU Struktural. Bahkan seringkali muncul provokasi baik dari pihak dalam maupun pihak luar dengan tuduhan bahwa NU Struktural sudah tidak perlu dan lebih baik menjadi NU Kultural.
      NU Kultural sendiri adalah istilah yang disebutkan untuk warga Nahdliyyin (sebutan untuk warga NU) yang tetap menjalani agama Islam ala NU, termasuk menjalani tradisi amaliyahnya, juga pemikiran fikih, akidah, dan tasawufnya. Namun, mereka tidak ikut berperan dalam struktur keorganisasian NU maupun Badan Otonom dari NU seperti Muslimat, GP Ansor, Fatayat, IPNU-IPPNU, Pagar Nusa, dan sebagainya.
      Sedangkan NU Struktural adalah istilah yang disebutkan untuk warga Nahdliyyin yang ikut serta berperan dalam keorganisasian NU sesuai jenjang dan tingkatannya. Seperti para ulama sepuh yang ikut dalam Syuriyah NU, ulama muda yang berperan di Tanfidziah NU, para Ibu-Ibu yang ikut Muslimat NU, pemuda dan pemudi yang berperan di GP Ansor – Fatayat, pelajar dan mahasiswa yang ikut IPNU-IPPNU, dan sebagainya.
      Sebenarnya antara keduanya memiliki peran yang saling melengkapi, NU Kultural berperan banyak dalam mempertahankan basis-basis NU di masyarakat kelas menengah bawah yang bahkan masih belum terjamah pendidikan, sehingga masyarakat tersebut lebih mudah menerima dakwah secara kultural terlebih dahulu daripada memahami sistem manajemen keorganisasian.
      Begitu juga NU Struktural memiliki peran dalam manajemen keorganisasian hingga ajaran NU bisa mudah menjangkau ke berbagai kalangan mulai dari masyarakat kelas menengah bawah hingga para elit. Sehingga, berkat dari manajemen yang matang gerakan dakwah NU bisa menjangkau hingga ke ranah internasional. Hal itu dibuktikan dengan eksisnya PCINU di berbagai negara.
      Dari sini bisa dikatakan bahwa NU Kultural tidak memiliki peran yang dilakukan oleh NU Struktural. Namun, NU Struktural bisa memiliki peran sekaligus yang dilakukan oleh NU Kultural sehingga memiliki peran dan pengaruh dalam ruang lingkup yang lebih luas.