Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia dirumuskan dalam sidang BPUPKI Pertama, Panitia Sembilan, Sidang BPUPKI Kedua serta sidang PPKI sampai pengesahannya. Pancasila menjadi titik awal berdirinya pondasi sebuah bangsa yang lebih dari ratusan tahun mengalami penjajahan. Awal mula lahirnya Pancasila merupakan langkah alternatif ketika kaum sosialis dan nasionalis tidak menerima hasil Piagam Jakarta. Dimana banyak kaum agamis pada butir pertama isi Piagam Jakarta menuturkan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk – pemeluknya” yang kemudian mendapatkan pertentangan keras. Hingga pada satu titik kesimpulan pertentangan itu, Soekarno mencoba untuk merubah dasar kata dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sebagai harapan mewakili seluruh agama, suku, budaya dan kelompok masyarakat yang ada di Indonesia.
Dasar filsafat negara kita hari ini telah menjadi bagian dari jiwa berbangsa dan bernegara seluruh rakyat Indonesia. Dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi sekalipun, Pancasila menjadi muatan lokal yang selalu disampaikan. Walau dengan berbagai materi pembahasan yang berjenjang sesuai dengan tingkat satuan pendidikan. Kita telah melihat betapa pentingnya Pancasila sebagai Ideologi, juga sebagai ruh bangsa dan dasar filsafat konstitusi negara kita.
Namun lima butir pancasila yang setiap hari menjadi hafalan wajib ketika kita masih duduk di bangku sekolah dasar, tak ubahnya seperti lirik lagu grup band yang hanya sebatas hafalan. Bahkan kalau boleh di uji coba melalui penelitian, masih banyak yang lupa dengan lima sila Pancasila. Tidak salah saya ketika tulisan ini saya beri judul Pancasila Masih Di Ujung Lidah. Karena nyatanya memang ruh Pancasila masih belum benar – benar tertanam dalam jiwa seluruh bangsa Indonesia. Sangat sulit jika harus mengimplementasikan tiap sila-nya jika secara hafalan saja masih sering lupa.
Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, sudah bukan lagi menjadi pijakan untuk menjadi perilaku manusia beragama. Masih banyak kekerasan antar agama yang tidak kunjung selesai karena alasan yang sebenarnya mampu diselesaikan secara musyawarah. Egosentris para pemeluk agama yang tidak mampu untuk rukun. Di Surabaya saja pemerintah masih perlu membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai wadah berkumpulnya dan beraktualisasinya seluruh pemeluk agama. Ini merupakan catatan nilai Pancasila yang sangat buruk. Jika Pancasila adalah ruh rakyat Indonesia, tanpa pemerintah membentuk wadah lintas agama, sudah barang tentu nilai – nilai Pancasila akan terlaksana secara otomatis.
Menarik jika kita mencoba menafsirkan lebih jauh lagi makna lima butir yang menjadi tuntunan berbangsa masyarakat Indonesia. Entah apapun tafsir kita mengenai lima butir itu. Yang jelas tafsir kita tidak akan mampu dituangkan di ribuan tumpukkan kertas. Bahkan jika cairan tinta di dunia ini habis, tafsir kita mengenai pancasila tidak akan akan selesai. Sungguh luasnya arti serta makna pancasila yang menjadi identitas bangsa Indonesia.
Pancasila bukan rangkaian kata yang tersusun didalam pigura burung garuda. Pancasila bukan susunan kalimat hafalan yang teruntai seara tegas dalam upacara kemerdekaan. Pancasila adalah ruh, pancasila adalah jati diri bangsa Indonesia yang seharusnya tertanam dalam lubuk hati segenap masyarakat Indonesia. Pancasila tidak memaksa kita untuk menghafalnya, pancasila tidak untuk dipampang disetiap dinding sekolah. Mengamalkannya disetiap aktivitas kita, mengamalkannya tanpa paksaan dan menghadirkannya sebagai bingakai kedamaian untuk Indonesia yang berdaulat dan berdikari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H