Membaca berita tentang negara-negara di jazirah Arab saat ini, yang mana penduduknya sekitar 90% adalah muslim, begitu mengerikan, hampir tidak ada negara di wilayah tersebut yang tidak mengalami pergolakan sosial. Pergolakan sosial sebagai modal dari ketidakberaturan suksesi kepemimpinan, keterkatung-katungan kebijakan ekonomi, ketiadaan keterbukaan media sebagai kontrol sosial, serta semakin terpinggirnya kebudayaan sebagai hasil dari nilai tinggi kemanusiaan.
Suksesi kepemimpinan seolah merupakan pergantian formal dari patron-patron penguasa dari komunal sosial yang besar dan menghegemoni, sehingga para stabilitas dari proses kekuasaan tidak dapat dijaga dengan baik dengan adanya kontra antar patron yang menjelma dalam bentuk kekuatan politik dan militer. Sebagaimana lazimnya penguasa di jazirah Arah di era 70an, penguasa akan disokong kuat oleh kekuatan militer eksternal untuk dapat stabil dalam menjalankan kekuasaan negara tersebut, meskipun sang penguasa berasal dari kelompok komunal yang tidak mayoritas. Sokongan ini tentunya berimbas kepada penguasaan hak ekonomi negara tersebut oleh kekuatan-kekuatan ekonomi negara penyokong.
Hingga kini, ketika negara paska kebijakan Amerika dalam bentuk Arab Spring beberapa waktu lalu, maka bertumbanganlah para tokoh penguasa diktator tersebut. Para negara penyokong itu rupanya sudah beralih untuk menjadi perongrong dan penghancur penguasa yang sudah dianggap kadaluarsa, maka bermunculah kekuatan-kekuatan yang dulu ditekan habis oleh sang penguasa. Sebutlah sederet nama negara yang sekarang juga masih gonjang-ganjing, Mesir, sebagai salah satu negara besar di jazirah itu, yang mana kedewasaannya diharapkan menjadi pilar kekuatan jazirah pun tidak kuasa dengan jatuh bangun dan perebutan kekuasaan.
Imbas dari ketidakpastian politik tentu membawa kepada ketiadaan perencanaan ekonomi negara tersebut, hingga tentunya para pemegang kontrol kekuasaan tersebut akan melakukan negosiasi antara kepentingan ekonomi dan backup politik. Para negara itu, bisa dipastikan tidak memiliki keterbukaan media yang dapat menjadi kontrol sosial, karena keberadaan masyarakat yang tidak memiliki kebersatuan dalam kehidupan bersosial. Kejadian terbunuhnya ulama senior Syiria, Al Bouthi, yang mana karya-karya beliau banyak menjadi acuan di Indonesia, merupakan salah satu indikatornya. Al Bouthi adalah ulama Sunni yang sangat senior dan menjadi pelindung umat muslim Sunni sejak awal kekuasaan Hafizh Assaad dengan kekuatan Syiahnya yang telah meneror umat Islam waktu itu, hingga rezim Syiria berganti ke putra Hafizh, yaitu Basyar, hubungannya masih nyaris bagus sehingga seolah Al Bouthi menjadi back-up kekuatan Basyar, namun entah mengapa ulama senior tersebut tega dibunuh dalam konflik negeri itu.
Mereka termosaik sedemikian rupa, sehingga komunal-komunal dari penduduk masyarakat tersebut mudah sekali diketahui, dipisahkan, dan dipecah belah untuk tidak rukun. Sebagaimana disampaikan oleh Halim Barakat, bahwa komunal-komunal tersebut bisa berupa kelompok suku, kelompok desa, kelompok pengembara, kelompok kelas sosial, kelompok patron tertentu, kelompok keyakinan agama, dan kelompok-kelompok lainnya. Penggambaran kelompok dan implementasi pengkomunalan sudah lama ada dan terus terpelihara dalam pengelompokkannya, seolah tiada usaha untuk menyamarkan pengkomunalan dalam kerangka kepentingan nasional.
Kondisi yang lebih parah ternyata juga terjadi di jazirah Arab itu, karena istilah nasional seolah membingungkan bagi mereka, apakah mereka negara merdeka dari penjajahan yang lantas memerdekakan diri, ataukah mereka kelompok wilayah negeri yang bergabung dalam nasionali jazirah dalam kebersatuan bahasa Arab. Sesuatu yang membingungkan belakangan ini terjadi manakala sebuah negara sedang konflik antara penguasa dan kelompok kekuatan politik rakyatnya, maka bermunculan kelompok lain dari negara tetangganya baik untuk membantuk kubu penguasa atau kubu rakyatnya dengan dalih komunal di atas, bisa dikarenakan sekte keyakinan agama yang sesama Syiah ataupun Wahabbi, bisa karena dukungan kelompok kesukuan, dan sebagainya.
Pada kondisi tersebut, tentu mereka tidak akan berada pada satu titik yang dapat menghasilkan nilai manfaat yang dapat berguna bagi kehidupan manusia, baik dalam bentuk ilmu pengetahuan ataupun kebudayaan. Mereka mungkin lupa dengan tokoh-tokoh ahli ilmu modern di zaman kemegahan Islam ataupun hasil-hasil karya sastra yang memberikan decak kagum. Tidak, mereka akan terbelenggu untuk urusan menyelamatkan nyawa dan kehidupannya dari terjangan kelompok sosial lainnya, lantas berjuang dari mencari nafkah di tengah puing keruntuhan perang sosial, ataupun menunggu belas kasihan dari bantuan negara lain.
Kondisi jazirah Arab itu, yang mana mayoritas adalah muslim dengan beragam negeri, kelompok suku, multi etnis, banyak sekte keyakinan, dan kelompok kekuatan, sejatinya sangat-sangat mirip bangsa Indonesia, sangat mirip. Mayoritas muslim, ribuan suku dan bahasa, sekte keyakinan dan keberagamaan, tentunya kelompok kekuatan dalam suatu wilayah yang berasal dari faktor keturunan, dan pengelompokkan yang lainnya. Kebhineka-tunggal-ika-an harus lah dijaga untuk menghindari keterbelahan komunal, kelompok, sehingga mudah sekali untuk disulut perpecahan dan peperangan antar kelompok.
Dalam kearifan lokal, sejatinya ketidakbersetujuan (pengganti kata kericuhan) adanya tempat ibadah di suatu daerah dapat dibicarakan dalam konteks kebersamaan untuk tidak saling merasa paling menang dan bersedia mengalah. Tinggalkan dulu teriakan-teriakan, pengerasan otot di leher dan tangan yang mengepal, jargon-jargon pengkafiran, hendaknya tetap berdiskusi dalam persaudaraan sesama warga bangsa. Bagi umat yang sedang diributkan tempat ibadahnya, mungkin usulan perbaikan proses pembangunan ataupun solusi pemindahan bangunan agar dapat diterima dengan baik. Begitu juga sebaliknya, umat Islam juga dapat berlegowo apabila proses pembangunan sudah benar dan tidak memicu adanya keributan dari sebab kecil untuk dibesar-besarkan. Lihatlah di beberapa negara yang mana Islam masih minoritas, betapa para pendeta gereja di beberapa wilayah memberikan tempat sukarela kepada kaum muslim untuk beribadah karena melihatnya sebagai saudara yang merasa kasihan ketika kepanasan atau kehujanan sewaktu sholat jumat berjamaah.
Agama sebagai salah satu inti nilai untuk mewujudkan kelompok merupakan salah satu sumber yang dapat meruntuhkan tiang-tiang kelompok bernegara ataupun sebaliknya menjadi pemerkuat tiang-tiang kelompok bernegara lainnya. Mengacu apa yang disampaikan oleh Gus Mus, bahwa seharusnya kita berpendapat bahwa kami adalah warga negara Indonesia yang kebetulan adalah juga umat yang beragama Islam (muslim), dan bukanlah berpendapat sebagai umat yang beragama Islam (muslim) yang kebetulan tinggal di Indonesia, dengan begitu penulis mencoba mengartikan bahwa sebagai umat muslim hendaknya kita meletakkan kepentingan bangsa dan negara lebih utama daripada kepentingan kelompok umat Islam.