Mohon tunggu...
Cak Usma
Cak Usma Mohon Tunggu... -

HoM MelOn. Ketua Persaudaraan Profesional Muslim Aswaja http://www.aswajanu.com . Ketua Umum Keluarga Wikusama. Rasulullah aku padamu. Gusdurian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

FPI, Jangan Dimatikan, Dijaga Saja!

22 Mei 2012   07:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:58 1021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saudaraku, seandainya kita mau mengambil sebuah diagram kehidupan sosial negeri kita, maka mungkin kita akan mengambil satu pendapat tentang FPI, yaitu "Jangan dimatikan, namun cukup dijaga agar tetap bergerak saja".


Mengapa demikian?


Kita lihat saja, bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah penduduk dengan kehidupan sosial yang sangat tinggi nilai toleransinya, sangat saling membantu, bahkan sampai pada titik: jikalau orang lain melakukan kejahatan, biarkanlah karena itu hubungan orang lain tersebut kepada Tuhan, asal tidak mengena kepada keluarga kita ataupun bukan keluarga kita yang melakukan.


Sebetulnya sangat bagus sebuah toleransi tersebut, karena adanya nilai-nilai penghargaan terhadap kehidupan pribadi orang lain, namun sangat toleransi menyebabkan garis-garis demarkasi sosial menjadi buruk.


Saya coba membuat istilah garis demarkasi sosial, karena masyarakat sosial kita yang mayoritas tersebut adalah masyarakat yang sangat toleran, sehingga dalam penyikapan kejahatan di masyarakat lebih banyak menjadi kelompok mayoritas diam. Sehingga katakanlah kehidupan sosial negeri kita yang ketimuran, sebagai istilah dari penterjemahan agama dalam kehidupan keseharian, makin hari makin luntur, makin hari-hari makin berkurang nilai ketimuran tersebut karena adanya desakan kehidupan-kehidupan modern yang cenderung tidak ketimuran, cenderung melanggar agama, namun kelompok mayoritas diam tadi tetap bertahan dan bertahan dengan sedikit demi sedikit anggota kaum masyarakat bergeser bergabung ke kelompok non ketimuran.


Katakanlah begini, masyarakat negeri kita pada awalnya adalah masyarakat yang menjaga batasan-batasan aurat dasar wanita. Sederhananya saja, aurat itu dapat diartikan sesuatu bagian tubuh yang bila ditampilkan ke muka publik dapat menyebabkan daya tarik seks (libido) yang meningkat sehingga mendorong kepada kegiatan seksual. Nah, semakin ke sini semakin terlihat betapa kelompok remaja di masyarakat semakin mudah berpakaian untuk semakin membuka aurat, banyaklah contohnya dan tidak saya sebutkan karena terlalu banyak di masyarakat kita.


Dalam menyikapi pandangan tentang perkembangan aurat yang semakin bernilai negatif dan menjauhi ketimuran itu, kelompok mayoritas diam, termasuk di dalamnya adalah ormas Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, terkesan 'kurang galak', karena mereka melakukan sosialisasi, pengajian, pencerahan yang semakin hari semakin sedikit umatnya, karena ternyata godaan penampilan aurat itu semakin dipermudah dengan keberadaan perangkat mutakhir, katakanlah smartphone. Sehingga mau tidak mau, kelompok mayoritas diam yang awalnya mendorong budaya timur yang beragamaan secara universal tersebut, lama-lama menjadi kecil anggotanya, karena generasi mudanya sudah semakin mudah ditarik ke kelompok non ketimuran.


Saya melihat, ketika kelompok-kelompok sosial tersebut menjadi semakin tergerogoti, maka kelompok mayoritas diam tersebut tentu semakin kecil dan terus mengecil tanpa ada perlawanan berarti, karena perlawanan dari kelompok mayoritas diam tersebut biasanya dilakukan secara tidak populer kecuali pada kondisi-kondisi tertentu, misalkan pengajian atau pergi ke ustadz/ ustadzah adalah bukan sesuatu yang populer atau menarik bagi kalangan remaja, namun kalangan remaja yang sudah 'terlanjur rusak' dan ingin bangkit menjadi baik akan sangat bersemangat pergi ke ustadz/ ustadzah. Sehingga yang terjadi adalah bukan tindakan preventif, pencegahan, pada terlanjur rusak, namun lebih kepada 'pengobatan setelah sakit'. Dalam gambaran diagram awal di atas, dapat terlihat bahwa batasan (garis demarkasi) dari pola kehidupan kelompok mayoritas diam lama kelamaan akan menjadi mengecil dan mengecil karena tergerogoti oleh budaya populer yang non ketimuran, menjauhi nilai agama.


Selanjutnya, dalam konteks saat ini, menurut saya, FPI adalah salah satu pihak yang dapat berfungsi menjaga garis-garis demarkasi tersebut menjadi lebih luas kembali. Katakanlah saat ini, FPI melarang adanya konser Lady Gaga, maka hikmah yang dapat diperoleh ada beberapa, yaitu: perbaikan dalam proses perizinan yang sepertinya saat sebelumnya dapat diperoleh secara mudah dan menarik kembali garis demarkasi pola kehidupan kelompok mayoritas diam dalam menjaga nilai ketimuran. Ini hikmah yang mungkin bisa diperoleh oleh negeri ini, walaupun mungkin yang muncul di permukaan adalah suatu pemandangan yang berbeda dengan terlepas dari agenda-agenda yang di belakang layar yang mungkin timbul juga.


Jadi, menurut saya kembali, biarkanlah FPI terus bergerak, tetap dijaga saja, biarkan FPI menampilkan wajah yang keras, namun tetaplah dijaga jangan sampai FPI melakukan tindakan kekerasan. Sesuatu yang berbeda bukan?


Btw, beberapa tahun yang lalu, Ulil tokoh JIL berbeda pendapat tentang aurat dengan seorang tokoh agama juga di Jawa Barat, Ulil dengan tafsir-tafsir Qur'annya sepertinya mendorong umat muslim untuk toleransi terhadap perkembangan aurat yang semakin 'meninggi' dengan memperkenalkan konsep komunitas penerima dari budaya tersebut. Katakanlah ketika satu kelompok di perkantoran memiliki aturan budaya yang menampilkan batasan-batasan aurat harus meninggi, katakan karyawati bank yang mana di sana roknya sangat tinggi sehingga tampilah paha putih sangat karyawati. Dalam konteks komunitas tersebut, batasan rok tinggi tersebut diperbolehkan, sehingga batasan aurat pun dipersepsikan diterima dengan rok yang tinggi itu. Namun, mungkin Ulil lupa bahwa anggota komunitas tersebut adalah juga anggota komunitas lain yang memiliki batasan aurat yang berbeda, di sinilah konflik batasan aurat terjadi. Kelompok dengan aurat rok yang tinggi tadi lama kelamaan akan menjadi alat promosi kelompok sosial lainnya untuk menerima dan meniru, sehingga berkembanglah kelompok dengan aurat rok tinggi tersebut, sampai menembus dinding kantor bank tersebut. Dampaknya? Silakan diteruskan sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun