Mohon tunggu...
Cak Tardjo
Cak Tardjo Mohon Tunggu... -

berbagi dengan corat-coret

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ibumu Dulu ...

19 Agustus 2010   12:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:53 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dari riwayat Abu Hurairah r.a berkata: Telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw lalu bertanya: “Siapakah manusia yang paling berhak untuk aku layani dengan sebaik mungkin?” Rasulullah saw bersabda: “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Rasulullah saw bersabda: “Kemudian ibumu.” Orang itu terus bertanya: “Kemudian siapa?” Rasulullah saw bersabda: “Kemudian ibumu.” Orang itu terus bertanya: “Kemudian siapa?” Rasulullah saw bersabda: “Kemudian ayahmu.” [HR. Bukhori, Muslim, Ibnu Majjah, Ahmad]

Rasanya mulut ini takkan bisa tertawa lagi ... hati ini takkan bisa senang lagi, bila mengenang segala tingkah lakuku saat aku duduk di bangku SMP, apalagi terhadap ibuku. Dulu sering kali aku merasa kesal, dan jengkel. Dulu aku berfikir, kalau mereka bukan orang tua yang mengerti tentang kejiwaan anak. Anehnya diriku ini, kan harusnya aku mengerti kalau memang mereka bukan lulusan fakultas psikologi.

Padahal ibukulah yang selalu dengan senyum, usapan lembut, yang mau mencurah hidupnya, memberi nafasnya, membagi makanannya, dan menghabiskan seluruh waktunya, membawa aku kemanapun ibu pergi. Ya, selama 9 bulan 10 hari itulah ibu mengandungku. Ya, sebelum kenal dunia pun aku sudah menjadi beban!

Saat aku lahir sebagai si bayi mungil dan lucu, ku disambut dengan penuh syukur kebahagiaan, senyum serta kelembutan. Kelembutan yang rela terkena ompol si bayi. Kelembutan yang rela kehilangan mimpi indahnya demi menggantikan si bayi. Namun hingga ibuku wafat, aku belum dapat memberikan apa pun untuk membalas segala kelembutan itu. Kini tinggal rasa penyesalan karena telah menyia-nyiakan waktuku dalam kedurhakaan terhadap ibuku.

Begitu juga dengan ayahku. Ayah yang telah rela bekerja keras untuk mempersiapkan penyambutan atas kelahiranku. Uuuhh ... padahal aku kan bukan raja. Walaupun begitu ayahku tetap menyambut kehadiranku melebihi penyambutan atas kehadiran seorang raja. Bagi ayahku, aku sangatlah istimewa. Kini ayahku pun telah kembali kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Sama juga seperti kepada ibuku, tinggal rasa penyesalan karena akupun telah menyia-nyiakan waktuku dalam kedurhakaan terhadap ayahku.

Kini hanya rasa rindu yang aku punya. Rindu akan semua kelembutan mereka. Ya, kelembutan demi kelembutan mereka yang telah membalur sekujur jiwa-ragaku. Ah ... hanya bisa rindu!

Wahai Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, jadikanlah kubur orangtuaku ini sebagai taman dari taman-taman surga. Jangan jadikan kubur mereka sebagai lembah dari lembah-lembah neraka. Ampunilah segala dosa mereka. Angkatlah segala siksa dari mereka. Dan sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku saat ku masih kecil. Aaamiiiiin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun