Mohon tunggu...
Ahmad Mukhlason
Ahmad Mukhlason Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang Santri ndeso, sedang ngaji di Sekolah Ilmu Komputer Universitas Nottingham, Inggris, Britania Raya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pesantren NU dan Pendidikan Karakter

7 Mei 2014   07:43 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:46 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana di Kota Santri, asyik senangkan hati. Tiap pagi dan sore hari muda-mudi berbusana rapi menyandang kitab suci, hilir mudik silih berganti pulang pergi mengaji. Duhai ayah ibu, berikan ijin daku untuk menuntut ilmu pergi ke rumah guru, mondok di kota santri banyak ulama kyai tumpuan orang mengaji. Mengkaji ilmu agama, bermanfaat di dunia, menuju hidup bahagia sampai di akhir masa. – Kota Santri, Nasida Ria.

Santri Sedang Mengaji Kitab Kuning (Courtesy: www.tempo.co ) Bait di awal tulisan ini adalah cuplikan lirik salah satu lagu qasidah yang di populerkan group qasidah Nasida Ria di tahun 1990 an. Duh, saya jadi ingat dan kangen  sama emak di kampungyang demen banget dengerin lagu-lagu qasidah ini dari radio setiap menjelang Adzan maghrib di kampung. Apalagi di bulan Ramadlan. Selalu menghadirkan suasana nostalgic masa kecil di kampung setiap kali mendengarkan kembali lagu qasidah ini di youtube. Apa kabar ya, para artis Nasida ria ini? Oh sayang seribu sayang, qasidah ini sepertinya sudah hilang ditelan keangkuhan zaman. Semoga saja saya keliru. Maaf, saya tidak sedang ingin menulis tentang nasib Nasida Ria. Seperti judul dari tulisan ini, kali ini saya ingin menulis uneg-uneg saya tentang pesantren. Katanya para akademisi, pesantren adalah sebuah sub-cultural tersendiri dalam masyarakat (Entahlah, apa maksudnya? ). Sering diidentikkan sebagai tempat nya pemuda-pemuda sarungan dan pemudi-pemudi berjilbab kampungan, yang jarang terdengar dan diekspos di media bahkan cenderung terpinggirkan, kecuali kalau menjelang pemilu. Tak jarang sering diremehkan, dipandang sebelah mata oleh masyarakat yang sok berpendidikan. Bahkan oleh orang-orang Islam sendiri. Pesantren ini sering dijadikan kambing hitam sebagai sarangnya Bid’ah, Kolotisme, dan biang ketidakmajuan umat Islam. Padahal, fakta sejarah mencatat pesantren-pesantren NU ini adalah institusi pendidikan tertua di Indonesia yang membangun manusia-manusia Indonesia. Khususnya para manusia-manusia pejuang-pejuang kemerdekan RI. Suatu hari, saya sedang berada di tengah-tengah keluarga mertua saya. Kebetulan, ada salah satu keponakan yang sedang rewel yang entah kenapa tidak mau masuk sekolah. Karena kehabisan cara untuk merayu, sang ibu tiba-tiba mengancam begini: “Eh, kamu kalau ndak mau masuk sekolah, saya pondok kan kayak Mbak Fulanah ya ! “. Si anak pun terlihat ketakutan, ” ndak mau ! buk” . Dan si anak pun bergegas mau berangkat ke sekolah. Tidak hanya ketika malas sekolah, rupanya ancaman dimasukkan pesantren adalah cara paling efektif untuk membuat si Anak menurut kehendak sang Ibu. Dalam hati saya nggrundel emang nya pesantren tempat pesakitan piye? Sebagai salah satu alumni pesantren, jelas saya tidak terima pesantren dijadikan untuk menakut-menakuti bocah. Jelas ini ada persepsi yang salah. Dan saya sangat yakin, masih banyak masyarakat yang berfikiran yang salah, bahkan berfikiran negatif terhdap pesantren. Di tulisan ini, saya ingin mencoba sedikit meluruskan. Apalagi, saat melihat karakter anak-anak muda jaman sekarang yang tergambar dari media yang sungguh sangat memprihatinkan. Pergaulan bebasnya, gaya hidup hedon nya, budaya instant nya, manja nya, dan matinya kecerdasan dan empati sosial mereka terhadap sesama. Membuat saya sangat yakin, betapa pentingnya pendidikan  ala pesantren ini.

” Pak Nuh, kalau sampean mau mencari model pendidikan karakter, sampean ndak usah bingung jauh-jauh mencari kemana kemari. Belajar saja sama pesantren-pesantren NU !”

Begitu kata Ibu Khofifah Indar Parawansa, Ketua Muslimat NU, suatu ketika ke Pak M. Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang kebetulan juga kader NU. Saya sangat-sangat setuju dengan Bu Khofifah ini. Saya rasa, pesantrenlah institusi pendidikan yang paling berhasil membentuk karakter. Sebagai orang yang pernah di pesantren, saya merasa karakter berikut cara pandang saya melihat dan memaknai hidup ini terbentuk saat di Pesantren. Untuk membentuk karakter seseorang, menurut hemat saya jelas sangat tidak cukup hanya dengan sistem pengajaran di dalam kelas sebgaimana di sekolah-sekolah umum. Tapi perlu pendidikan menyeluruh 24 jam, dan itulah yang terjadi di pesantren.

Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang Model Pendidikan Pesantren NU Secara umum, ada beberapa karakteristik yang menurut saya melekat pada Pesantren, khususnya pesantren NU dan tidak ada pada institusi pendidikan lainya. Karakteristik tersebut adalah: Figur Pak Kyai/ Bu Nyai Sang kyai dan Bu Nyai adalah tokoh sentral di Pesantren. Mereka ibaratkurikulum hidup yang senantiasa menjadi inspirasi, panutan, dan keteladanan bagi santri. Yang dari merekalah para santri belajar kearifan dan kebajikan hidup, meneladi akhlak  Rosulullah dan sahabat nya sesuai dengan Alquran dan Hadist. Bersama para ustad dan ustadzah Pak kyai dan Bu Nyai ini memantau para santrinya selama 24 jam. Singkat kata, Akhlakul Karimah adalah kurikulum wajib yang diterapkan di pesantren. Kesederhanaan, kesabaran, dan keiikhlasan adalah sifat yang melekat pada Pak Kyai dan Bu Nyai. Yang akan selalu menginspirasi seumur hidup para santrinya. Masjid Masjid adalah jantungnya pesantren. Di Masjid inilah semua kegiatan religius berpusat. Setiap santri diwajibkan sholat jamaah dimasjid, kegiatan pengajian juga berpusat di masjid ini. Tahlil, Istigotsah, Manaqib, dan kegiatan Ubudiyah berpusat di masjid ini. Dari masjid inilah religiusitas, fondasi keimanan dan ketaqwaan para santri dibentuk. Asrama Santri Para santri tinggal bersama dengan santi lainya yang datang dari berbagai daerah dan beda budaya. Di kamar-kamar sederhana tapi penuh dengan kebersamaan. Di asrama ini para santri learning by doing yang namanya kemandirian, gotong royong, egaliter, kebersamaan, kedisiplinan, kepemimpinan, saling memahami dan menghormati, saling mengingatkan, berempati kepada orang lain. Mau tidak mau mereka tidak bisa hidup egois dan individualis di asrama ini. Kitab Kuning Kitab kuning adalah kitab (baca : buku) klasik karangan ulama-ulama terkenal jaman dahulu (utamanya masa kejayaan Islam) yang dipelajari dan menjadi ciri khas pesantren NU. Karena ditulis dalam bahasa Arab gundul (tanpa harokat) dan biasanya dicetak pada kertas berwarna kuning makanya biasa disebut kitab kuning. Kitab kuning ini mencakup berbagai disiplin ilmu: Tafsir, Hadist, Fiqih, Akhlak, Tasawuf, dan sebagainya. Kitab ini dibaca kata per kata dan diterangkan oleh sang kyai secara kolosal kepada puluhan, ratusan, bahkan ribuan santrinya, yang menyimak sang kyai sambil memberi makna pada kitab yang dibaca dengan huruf arab pego (bahasa jawa yang ditulis arab). Sistem ini dikenal dengan sistem Bandongan. Atau dibacakan secara personal, satu ustad/ustadzah ke satu santri secara bergantian, sistem ini dikenal dengan sistem sorogan. Dari kitab-kitab inilah sang kyai mengajarkan kearifan dan kaebajikan hidup dari ulama-ulama jaman dahulu. Bagaimana bahanya penyakit hati seperti iri, dengki, hasut, riyak atau Pedihnya siksa kubur atau dahsyat nya hari kiamat, mengerikanya neraka, dan indahnya Syurga dibahas sangat detail dari kitab-kitab kuning ini. Madrasah/Sekolah Di pesantren NU, ada maqalah begini: “al muhaafazhatu ‘alal qadiemis shalih wal akhdzu bil jadidiel ashlah”, yaitu melestarikan nilai-nilai tradisional yang positif, serta saat bersamaan mengapresiasi inovasi-inovasi baru yang lebih membawa maslahat besar bagi kehidupan masyarakat [1]. Jelas, pesantren tidak anti modernitas sepanjang itu membawa perubahan yang lebih baik, tetapi pesantren juga kekeh melestarikan budaya sendiri yang positif, tidak begitu saja mengadopsi  budaya orang lain, tetapi bangga dengan budaya dan kearifan lokal sendiri. Oleh karena itulah di pesantren juga ada Madrasah atau Sekolah. Ada Madrasah Diniyah, yang memang khusus mempelajari Agama yang terdiri dari beberapa tingkat mulai, Shifir, Ula, Ustho, Ulya, dan Ma’had ‘Aly. Tidak sedikit pesantren yang membuka sekolah layaknya sekolah pemerintah di luar pesantren seperti: SD, SMP/M.Tsanawiyah, SMA/SMK/Madrasah Aliyah, bahkan Perguruan Tinggi. Dan jangan salah, banyak sekolah di pesantren yang kualitasnya lebih bagus dari sekolah di luar pesantren, seperti Pondok Pesantren Darul Ulum di Jombang, yang memiliki sekolah SMA swasta berstandar Internasional. Disamping itu semua ada barokah do’a kyai/Bu nyai yang Insha Allah membuat barokah hidup para santrinya.
pendidikan_karakter
pendidikan_karakter
Jika belakangan pemerintah menggalakkan pendidikan karakter, menurut hemat saya pesantren dari dahulu secara mandiri telah berhasil menerapkanya. Pemerintah seharusnya belajar banyak dari pesantren tentang pendidikan karakter. Seperti, yang telah ditiru oleh Pemerintah Kabupaten Sragen, yang mendirikan SMP-SMA Negeri bilingual boarding School. Sekolah ini terbukti berhasil dengan prestasinya yang luar biasa, siswa-siswinya sering menjuarai olimpiade baik tingkat nasional dan internasional. Bahkan pada tahun 2012, mendapat penghargaan dari MURI  sebagai sekolah termuda dengan prestasi terbanyak [2]. Semoga, segera lahir generasi-generasi emas untuk mengubah bangsa ini, Allahumma Ammiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun