Mohon tunggu...
Ahmad Mukhlason
Ahmad Mukhlason Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang Santri ndeso, sedang ngaji di Sekolah Ilmu Komputer Universitas Nottingham, Inggris, Britania Raya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Khofifah: Sang Menteri Kerudungan Pertama di Indonesia

2 November 2014   09:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:53 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

…. Selamat datang era kesederhanaan dalam sikap, ketulusan hati dalam bekerja dan RASA dalam pengabdian – @alvinadam

Pelantikan Presiden Joko Widodo

20 Oktober 2014 Pagi itu seperti biasa, lebih dari sekedar sering, aku adalah orang yang pertama membuka pintu ruang C85. Ruang dimana sebagian besar waktu ku, aku habiskan di ruangan ini. Delapan sampai lima belas jam sehari, berkutat dengan latex, eclipse, jendela hiburan ‘chrome’ di PC ku, tumpukan buku yang sudah dipenuhi sarang laba-laba, tumpukan makalah jurnal penelitian, serta kertas ‘oret-oretan’ yang berserak dan berantakan. Yah, di ruang inilah, aku bersama teman-teman satu grup riset menghabiskan waktu bersama, untuk setidaknya 1000 hari lamanya. Tempat yang mungkin akan sangat nostalgic dan layak untuk dirindukan suatu hari di masa depan nanti.  Tempat, kawah candradimuka, yang telah membentuk ku menjadi (hopefully) seorang peneliti ilmu komputer yang mandiri. Si Fulan, teman satu lab berkebangsaan Lebanon, menjadi orang yang paling beruntung hari itu. Karena Si Fulan berhasil menjadi orang pertama yang menyapa ku pagi itu. “Keifak , Ahmad ?” (Apa kabar, Ahmad?), sapanya seperti hari-hari biasa kepada ku pagi ini. “Congratulation, you have a new President today ! Jokowi, a very modest president, the ex mayor of Jakarta” . Aku hanya menimpali: ” How do you know him so well, Fulan ? ” Rupanya fenomena Jokowi di Indonesia menarik banyak perhatian banyak orang, tidak hanya rakyat Indonesia, tetapi juga menjadi perhatiang bangsa lain, salah satunya Si Fulan teman satu grup riset ku ini. Iyah, hari ini, 20 Oktober 2014, biarlah sejarah mencatat Jokowi, sebagai presiden baru Indonesia. Presiden kedua yang dipilih langsung oleh rakyat Indonesia, menggantikan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) setelah 10 tahun berkuasa. Hari, ketika sebagian besar pendukung dan pengagumnya merayakanya dengan penuh euforia. Pesta Rakyat, mereka menyebutnya begitu. Meski, pada saat proses pemilihan, aku berharap bukan Jokowi yang jadi presiden, karena aku percaya rivalnya, Prabowo memiliki kualitas kepemimpinan sebagai presiden yang lebih baik. Diam-diam aku pun menaruh harap pada Jokowi untuk Indonesia yang jauh lebih baik kedepanya. Gus Dur, Demokrasi, dan Islam

Habibie, Megawati, Shinta Nuriyah Wahid

Tak terasa, tiba-tiba mata ini menjadi sembab, menyaksikan tayangan prosesi pelantikan presiden Jokowi di youtube. Bukan retorika pidato pertama Jokowi yang membuat ku terharu dan tersentuh.  Tapi deretan para audience yang sesekali terkena shoot kamera. Menyaksikan orang-orang penting bangsa ini, berkumpul di tempat yang sama. Mereka yang sebelumnya, berseteru dalam politik, pada akhirnya semuanya mampu legowo duduk bersama-sama. Melihat, mantan Presiden Habibie, Megawati, Ibu Shinta Nuriyah Wahid- istri mendiang mantan presiden Gus Dur, dan para mantan pemimpin lainya, bisa duduk berjejer bersama, dalam suasana penuh dengan kekeluargaan, sungguh membuat mata rakyat kecil seperti aku ini sangat terharu. Tak sadar, aku pun harus menyeka air mata ku. Di antara teman-teman sesama muslim dari berbagai negara di timur tengah, aku selalu bangga untuk mengatakan, bahwa di negara muslim terbesar di dunia ini , suksesi pergantian pemimpin dapat dilalui dengan indah, damai, dan tanpa pertumpahan darah. Bahwa, demokrasi bisa berjalan dengan baik di negeri tempat umat nabi Muhammad terbesar itu berada. Demokrasi yang membuat rakyat jelata pun bisa memimpin negeri. Tak harus dari golongan priyayi -bangsawan, atau golongan kyai-rohaniawan. Sekarang, aku baru mengerti, mengapa Gus Dur yang orang pesantren, dan bertahun-tahun mengembara menuntut ilmu di negara-negara timur tengah itu, tak pernah menginginkan negara Islam. Tapi, justru Gus Dur adalah orang Indonesia yang paling ekstrim memperjuangkan demokrasi di Indonesia. Apalagi, melihat bagaimana pertumpahan darah yang selalu menyertai pergantian pemimpin di negara-negara Timur Tengah belakangan ini. ilarruhi Gus Dur, Alfatihah……. Bagi orang Indonesia pada umumnya dan anak-anak muda pada khusunya, setidaknya Jokowi akan merubah konotasi seorang pemimpin negeri. Bahwa ternyata presiden itu, tidak harus ‘sempurna’, sebagaimana yang melekat pada diri seorang SBY. Yang gagah nan rupawan, berwibawa dan berpendidikan tinggi, pun pandai bernyanyi dan berpuisi. Bahwa seorang yang kurus kerempeng, berwajah ndeso, dan tampil apa adanya pun bisa menjadi seorang presiden. Bahwa, ketulusan hati dan kesempurnaan batin lebih utama dari sekedar kesempurnaan fisik belaka. Aku hanya bisa berdoa, semoga Jokowi dan semua pemimpin-pemimpin di negeri ini selalu dibuka mata hatinya, selalu diberi petunjuk oleh Allah swt.

Menteri Khofifah

27 Oktober 2014 Seminggu setelah euforia presiden baru, tibalah hari ini saatnya euforia para menteri baru. Di antara, 34 menteri yang ada, hanya satu yang mempu mencuri hati ku. Ya, siapa lagi kalau bukan Mbak Khofifah Indar Parawansa yang selalu saya kagumi.  Entahlah, setiap melihat wajah bersahaja-tapi-kharismatik nya, aku selalu teringat emak ku di kampung, sungguh wajah dan senyumnya mirip sekali. Emak ku yang mantan aktivis muslimat NU level desa. Buat ku, Mbak Khofifah memang sangat istimewa. Sepanjang sejarah negeri ini, rasanya beliau lah satu-satu nya menteri yang kerudungan. Di negeri yang mayoritas muslim dan separuh penduduknya perempuan ini. Masalah kualitas, tak perlu diragukan lagi. Kecerdasan dan pengalaman kepemimpinanya tak perlu disangsikan lagi. Pun kapabilitasnya, sebagai menteri sosial. Rasanya, sepanjang kiprahnya selama ini di Muslimat NU, tak pernah lepas dari kerja-kerja sosial. Aku sangat yakin, beliau akan mampu menjalankan amanah ini dengan sebaik-sebaiknya. Aku sangat berharapa, Mbak Khofifah ini bisa menjadi inspirasi bagi perempuan-perempuan seluruh Indonesia. Khususnya, perempuan-perempuan desa, mbak-mbak fatayat, dan muslimat NU di seluruh pelosok Indonesia. Jikalau, selama ini perempuan-perempuan Indonesia mengidolakan perempuan-perempuan artis yang sebagian besar menonjolkan kecantikan wajah, kemolekan tubuh, dan kepandaian menghibur orang saja. Rasanya, Mbak Khofifah adalah sangat patut menjadi inspirasi perempuan-perempuan Indonesia. Bahwa, perempuan yang sempurna itu bukan diukur dari tampilan fisiknya seperti pemilihan putri-putri dalam kontes-kontes kecantikan. Tapi seharusnya perempan itu dilihat dari kecerdasan, jiwa kepemimpinan, dan kiprahnya di tengah-tengah masyarakat. Cerdas, berpendidikan, sederhana dan bersahaja,  mampu memimpin, perempuan kuat dan tangguh, berani, muslimah yang tafaquh fiddin, santun, berkiprah untuk masyarakat, ibu yang sukses, NU banget lagi, semua melekat pada diri Khofifah.  Semoga banyak perempuan-perempuan muda Indonesia yang terinspirasi oleh beliau. Mari kita memulai lembaran sejarah baru Indonesia, yang kalau boleh meminjam kata-kata Alvin Adam, era kesederhanaan dalam bersikap, ketulusan hati dalam bekerja, dan rasa dalam pengabdian. Selamat tinggal era kepura-puraan dan pencitraan. Selamat tinggal era ‘bungkus’ selamat datang era ‘isi’.  Semoga Indonesia tidak berubah, kecuali berubah menjadi lebih baik. Allahumma Ammiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun