Mohon tunggu...
Ahmad Mukhlason
Ahmad Mukhlason Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang Santri ndeso, sedang ngaji di Sekolah Ilmu Komputer Universitas Nottingham, Inggris, Britania Raya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Balada Secangkir Kopi Pahit dan Mahasiswa PhD

26 Oktober 2013   00:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:01 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

… jika segelas coklat panas dengan gula sedikit mengajarkan saya bahwa hidup harus dihadapai dengan optimis dan hati riang tapi tidak berlebihan, maka secangkir kopi pahit mengajarkan saya bahwa hidup ini tidak selalu indah, ada saat-saat dimana hidup harus terasa berat dan menyakitkan. Pahit dan manis, semuanya untuk menciptakan keseimbangan, agar kita selalu ingat dan waspada bahwa hidup hanyalah ujian dan cobaan.

Dulu, saya tidak pernah percaya bahwa secangkir kopi bisa membuat kitabetah melek (kuat tidak tidur). Makanya, saya bukanlah penikmat kopi. Walaupun, saya sering kali bertanya-tanya kenapa almarhum embah saya, H. Abdul Fatah, dulu seorang pecandu kopi yang hebat. Sepanjang harinya selalu ditemani dengan kopi. Setiap pagi, siang, sore, dan malam hari, saya selalu melihat secangkir kopi panas berwarna hitam buatan mbah dok (panggilan saya untuk nenek saya, yang artinya nenek perempuan) di atas meja di samping kursi kayu anyaman kayu jalin kesayanganya,  yang menghadap ke arah timur. Masih terekam kuat dalam ingatan saya, sayalah orang yang selalu menghabiskan cete (sisa sedikit kopi yang ada ampasnya) bekas mbah nang (panggilan saya untuk kakek). Tapi, entah kenapa ketika dewasa saya tidak pernah tahu bagaimana menikmati secangkir kopi itu. Seminggu terakhir ini, pada akhirnya membuat saya berteman dengan secangkir kopi. Secangkir kopi yang selalu mengingatkan saya pada mbah nang saya yang hebat di mata saya. Mbah nang saya yang sangat cerdas dan pengetahuanya sangat lawas. Dari beliaulah  saya pertama belajar menulis dengan huruf jawa, HA NA CA RA KA. Dari beliaulah saya belajar pertama tentang kearifan hidup dari tokoh-tokoh pewayangan, gatot koco, bima, arjuna, dan sebagainya. Lebih dari itu, secangkir kopi telah menjadi sahabat sejati saya, yang selalu setia menemani saya tetap terjaga, menghabiskan malam-malam di musim gugur menjelang musim dingin yang sangat panjang. Secangkir kopi yang membantu saya berhasil melakukan laku tirakat dengan hanya tidur maksimal 3 jam sehari. Tidak hanya menemani tetapi juga menghangatkan malam yang semakin dingin akhir-akhir ini. Jika di pagi hari saya jadi penikmat segelas coklat panas dengan gula sedikit. Untuk malam hari saya jadi penikmat secangkir kopi hitam pahit tanpa gula. Buat saya, segelas coklat panas dengan gula sedikit dan secangkir kopi pahit ada filosofinya sendiri. Jika segelas coklat panas dengan gula sedikit mengajarkan saya bahwa hidup harus dihadapai dengan optimis dan hati riang tapi tidak berlebihan, maka secangkir kopi pahit mengajarkan saya bahwa hidup ini tidak selalu indah, ada saat-saat dimana hidup harus terasa berat dan menyakitkan. Pahit dan manis, semuanya untuk menciptakan keseimbangan, agar kita selalu ingat dan waspada bahwa hidup hanyalah ujian dan cobaan.Tidak ada kebahagiaan yang hakiki dan selamanya didunia ini. Begitu juga dengan kesedihan dan kedukaan. Terima kasih secangkir kopi pahit, yang telah menemani malam-malam sunyi ku, dari perjalanan panjang sekolah PhD ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun