Persaingan ekonomi antara Amerika Serikat (AS) dan China semakin memanas, dan negara-negara berkembang kini terjebak dalam dilema besar akibat ketegangan ini. Dalam konteks ini, persaingan antara kedua negara besar ini sering kali digambarkan sebagai "zero-sum game", di mana setiap keuntungan yang diperoleh satu pihak dianggap sebagai kerugian bagi pihak lainnya. Negara-negara berkembang, yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap hubungan perdagangan dengan kedua negara ini, kini harus memutuskan langkah yang harus diambil untuk menjaga kepentingan ekonomi mereka.
China, yang telah menjadi mitra dagang utama bagi banyak negara di dunia, terutama di Asia, memiliki posisi yang semakin kuat dalam perdagangan global. Sejak bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 2001, China telah berhasil menguasai sektor manufaktur global berkat kebijakan industrialisasi yang sukses. Kini, hampir 70% negara di dunia lebih banyak mengimpor barang dari China dibandingkan dari AS, menjadikannya sebagai mitra dagang terbesar bagi lebih dari 60 negara.
Namun, di sisi lain, AS juga tetap menjadi pasar penting bagi ekspor dari negara-negara berkembang. Kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden AS Donald Trump, yang mengarah pada perang dagang dengan China, menyebabkan ketegangan yang semakin dalam antara kedua negara ini. Meskipun Trump mengklaim bahwa tarif tersebut bertujuan untuk melindungi industri domestik AS dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja, kebijakan ini memengaruhi banyak negara yang bergantung pada perdagangan bebas dengan kedua negara tersebut.
Bagi negara-negara berkembang, memilih untuk berpihak pada satu negara besar bukanlah pilihan yang mudah. Di satu sisi, hubungan perdagangan dengan China sering kali menguntungkan, karena negara ini menawarkan produk dengan harga yang lebih murah dan menjadi sumber utama barang-barang konsumsi serta bahan baku. Di sisi lain, ketergantungan terhadap AS sebagai pasar ekspor utama juga tidak dapat diabaikan, terutama bagi negara-negara yang mengandalkan ekspor komoditas seperti minyak, pertanian, dan produk manufaktur.
Namun, dengan adanya tekanan dari AS untuk mengurangi perdagangan dengan China, negara-negara berkembang kini harus mempertimbangkan risiko jangka panjang. Meskipun mereka bisa mendapatkan manfaat jangka pendek dari pengurangan tarif dan hambatan perdagangan yang diberikan AS, kehilangan akses ke pasar China dapat membawa dampak negatif yang jauh lebih besar. Oleh karena itu, bagi banyak negara berkembang, mengurangi ketergantungan pada salah satu kekuatan besar ini hampir tidak mungkin dilakukan.
Dalam jangka panjang, negara-negara berkembang harus menemukan cara untuk menyeimbangkan hubungan perdagangan mereka dengan AS dan China tanpa mengorbankan kepentingan ekonomi mereka. Dengan China yang semakin dominan dalam perdagangan global dan AS yang terus berusaha menarik negara-negara lain untuk berpihak padanya, persaingan ini akan terus memengaruhi keputusan ekonomi dan politik negara-negara berkembang. Maka, bagi mereka, persaingan ini lebih dari sekadar zero-sum game --- ini adalah ujian besar dalam menentukan strategi ekonomi yang tepat untuk masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI