Selama ini, kita mungkin menganggap kebiasaan makan hanyalah urusan perut---soal gizi, selera, atau sekadar waktu istirahat. Namun, World Happiness Report 2025 membongkar lapisan yang lebih dalam dari sekadar menu di piring. Untuk pertama kalinya dalam sejarah riset global tentang kebahagiaan, laporan ini mengangkat satu indikator sosial yang selama ini kerap diabaikan, yaitu makan bersama. Ya, kebiasaan makan bersama---atau justru, makin seringnya kita makan sendirian.Ide ini lahir dari pertanyaan yang sederhana tapi relevan, jika manusia adalah makhluk sosial, apakah makan sebagai salah satu aktivitas paling dasar pun bisa menjadi cermin keterhubungan kita dengan orang lain? Para peneliti di Oxford dan Gallup mengolah data survei lintas negara untuk menjawabnya. Hasilnya mencengangkan bahwa orang-orang yang lebih sering makan bersama menunjukkan tingkat kebahagiaan yang jauh lebih tinggi, bahkan setelah dikontrol dengan variabel seperti pendapatan, pendidikan, dan ukuran rumah tangga. Lebih dari itu, pengaruh makan bersama terhadap kebahagiaan setara dengan pengaruh memiliki pekerjaan atau tidak---sesuatu yang selama ini dianggap sebagai penentu utama kesejahteraan subjektif.
Fenomena makan sendirian menjadi tren global yang kian mencuat. Di Amerika Serikat, misalnya, data dari American Time Use Survey tahun 2023 menunjukkan bahwa 1 dari 4 orang dewasa makan sendirian sepanjang hari, meningkat tajam---sebesar 53%---dibandingkan dua dekade lalu. Makan sendirian kini tak lagi identik dengan kesepian semata, tapi menjadi bagian dari gaya hidup modern, makan cepat di kantor, grab-and-go lunch, atau makan sambil scroll TikTok di sudut kafe. Ironisnya, di tengah keterhubungan digital yang nyaris konstan, kita justru makin jarang duduk bersama dalam ruang makan yang nyata.
Di beberapa negara lain, kebiasaan makan bersama masih menjadi norma sosial. Di banyak negara Asia dan Timur Tengah, makan bersama keluarga besar atau komunitas tetap lestari, meski mulai tergerus modernisasi. Negara-negara seperti Meksiko dan Turki masih mempertahankan ritual makan sebagai ajang berkumpul, bertukar cerita, dan merawat kedekatan sosial. Studi WHR mencatat bahwa negara-negara dengan tingkat makan bersama yang tinggi juga mencatat tingkat kesepian yang lebih rendah dan dukungan sosial yang lebih kuat.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Di atas kertas, Indonesia termasuk negara dengan budaya sosial yang kuat---gotong royong, makan bareng saat hajatan, tradisi buka puasa bersama. Tapi jika menilik lebih dalam, terutama di wilayah urban dan generasi muda, tren makan sendirian juga makin marak. Mahasiswa kos yang makan sendiri di kamar, pekerja kantoran yang menyendiri di food court, atau para ojek daring yang makan terburu-buru di pinggir jalan---semuanya menjadi potret sosial yang akrab tapi jarang dibicarakan. Sementara itu, data dari laporan ini juga mengonfirmasi, meskipun Indonesia menempati peringkat 1 dunia dalam donasi dan relawan, peringkat kebahagiaan kita masih berada di urutan 83 dari 147 negara. Apakah ini berarti bahwa kita sangat suka membantu, tapi diam-diam makin kesepian?
Fenomena ini memberi pesan kuat kepada pembuat kebijakan, komunitas, dan bahkan kita sebagai individu, kesejahteraan sosial tak hanya soal ekonomi atau program bantuan, tapi juga tentang ruang dan waktu untuk hadir bersama. Kebiasaan makan bersama yang selama ini dianggap remeh ternyata berperan besar dalam membentuk jaringan sosial yang sehat dan rasa keterhubungan yang autentik. Maka mungkin, sudah saatnya kita kembali menghidupkan meja makan bukan hanya sebagai tempat makan, tapi sebagai tempat bertemu---dalam arti yang paling manusiawi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI