Di banyak birokrasi publik, efisiensi anggaran seringkali dipandang bukan sebagai prestasi, melainkan sebagai ancaman.
Logika ini dikenal sebagai ratchet mentality---sebuah pola pikir yang membuat para manajer publik enggan menyisakan anggaran, karena khawatir alokasi tahun berikutnya akan dikurangi.
Meskipun insentif atas efisiensi telah tersedia secara formal, nilainya cenderung kecil dibanding potensi kehilangan baseline anggaran di masa depan.
Baca juga:
- Mengapa Ibu-ibu Lebih Tertarik Emas Fisik tinimbang Digital?
- Komunitas Misoginis, Ancaman Baru dari Ruang Obrolan Remaja
- Dua Gajah Bertarung, Para Pelanduk Unjuk Gigi?
- Rangkap Jabatan dan Kaburnya Batas Negara-Bisnis
- Kebijakan Strategis ESG BUMN dan Relevansinya dengan Prinsip-prinsip Corporate Governance
Kebijakan penghematan dengan demikian tidak otomatis menghasilkan belanja yang lebih optimal. Sebaliknya, ia dapat mendorong perilaku belanja maksimal menjelang akhir tahun anggaran, bukan karena kebutuhan, tetapi karena ketakutan.
Studi seminal oleh Lee dan Plummer (2007) menemukan bahwa perilaku anggaran pemerintah daerah menunjukkan pola ratcheting yang kuat. Ketika realisasi belanja melebihi anggaran, alokasi tahun berikutnya meningkat secara signifikan.
Namun demikian, ketika terjadi efisiensi, anggaran tidak turun sebanding. Temuan ini diperoleh dari analisis di Bidang Pendidikan. Peneliti mengungkapkan kecenderungan ratchet anggaran.
Studi ini menyasar lebih dari 1.000 distrik sekolah, dan secara konsisten menunjukkan bahwa ratcheting lebih kuat terjadi di komponen belanja non-mandatory, serta lebih mencolok pada daerah yang tingkat akuntabilitas publiknya rendah.
Perilaku semacam ini berpotensi direproduksi oleh manajer publik di manapun, khususnya ketika mekanisme reward atas efisiensi tidak cukup kuat untuk mengkompensasi potensi kerugian alokasi di tahun berikutnya.
Prospect Theory yang diperkenalkan oleh Kahneman dan Tversky (1979) menawarkan lensa psikologis yang relevan untuk memahami fenomena ini. Teori tersebut menyatakan bahwa individu tidak selalu membuat keputusan secara rasional terhadap nilai absolut, melainkan berdasarkan persepsi terhadap perubahan dari titik referensi tertentu.
Mereka cenderung menghindari risiko ketika menghadapi situasi menguntungkan (gain frame), tetapi menjadi pencari risiko saat menghadapi potensi kerugian (loss frame).