Dalam dunia keuangan dan akuntansi, kita cenderung percaya bahwa angka tidak pernah bohong. Laporan keuangan dianggap sebagai representasi objektif dari kinerja dan posisi sebuah entitas.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa di balik angka-angka yang tampak netral itu, terdapat bias-bias psikologis yang memengaruhi tidak hanya pengguna laporan keuangan, tetapi juga pembuat dan pengawasnya.
Di sinilah pentingnya memahami pemikiran Daniel Kahneman, seorang psikolog peraih Nobel yang mengubah cara kita melihat pengambilan keputusan ekonomi dan keuangan.
Kahneman, bersama rekannya Amos Tversky, memperkenalkan konsep dua sistem berpikir dalam otak manusia, yaitu sistem pertama, yang cepat, intuitif, dan sering kali keliru dan sistem kedua yang lambat, analitis, namun sering diabaikan karena memerlukan lebih banyak usaha.
Dalam konteks akuntansi, sistem pertama-lah yang bekerja saat investor bereaksi berlebihan terhadap laba kuartalan, atau saat manajer tergoda melakukan manipulasi kecil demi memenuhi ekspektasi pasar. Kita berpikir cepat, tapi hasilnya sering kali salah --- thinking, fast and false.
Prospect Theory yang dikembangkan Kahneman dan Tversky mulai menggeser dominasi asumsi rasionalitas investor dalam teori pasar modal. Investor ternyata tidak selalu bertindak logis. Mereka cenderung lebih sensitif terhadap kerugian dibanding keuntungan --- sebuah fenomena yang disebut loss aversion.
Implikasinya sangat besar. Perusahaan tahu bahwa kerugian lebih "mahal" secara psikologis daripada keuntungan yang setara, sehingga ada dorongan kuat untuk menghindari pelaporan rugi, bahkan jika itu harus dilakukan dengan rekayasa akuntansi yang "kreatif".
Istilah "prospect" ini merujuk pada suatu pilihan atau alternatif keputusan yang melibatkan risiko, di mana hasilnya bergantung pada probabilitas tertentu.
Ilustrasi:
Bayangkan seorang investor punya dua pilihan: (1) menerima keuntungan pasti sebesar Rp100.000, atau (2) mengambil peluang 50% untuk mendapat Rp200.000 tapi 50% tidak mendapat apa-apa.
Kebanyakan orang akan memilih opsi pertama, meskipun nilai harapannya sama. Namun, ketika situasinya di balik---misalnya harus memilih antara (1) kerugian pasti Rp100.000 atau (2) peluang 50% kehilangan Rp200.000 tapi 50% tidak kehilangan apa-apa---banyak orang akan memilih opsi kedua.