Pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) sebagai entitas holding yang mengonsolidasikan seluruh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah langkah institusional yang ambisius sekaligus kontroversial. Di atas kertas, Danantara bertujuan mengelola kekayaan negara secara profesional, transparan, dan menghasilkan nilai tambah ekonomi strategis. Namun, di balik narasi teknokratis tersebut, tersembunyi sebuah pertanyaan mendasar yang belum terjawab dengan jelas apa sebenarnya misi Danantara? Apakah ia ditugaskan mengelola BUMN yang bersifat strategis? Ataukah juga mencakup BUMN yang beroperasi di sektor kompetitif? Ketidakjelasan inilah yang menjadi sumber utama ambiguitas misi kelembagaan Danantara.
Sektor strategis dan sektor kompetitif memiliki karakteristik yang berbeda secara struktural dan fungsional. Sektor strategis, seperti energi, infrastruktur, dan keuangan sistemik, biasanya ditandai oleh kontrol negara yang tinggi, entry barriers yang besar, serta peran publik yang tidak bisa digantikan pasar. Keberadaannya sering dianggap vital bagi stabilitas nasional dan ketahanan ekonomi. Sebaliknya, sektor kompetitif---seperti semen, makanan, manufaktur ringan---beroperasi di pasar terbuka, di mana efisiensi, inovasi, dan respon terhadap permintaan konsumen menjadi penentu utama kelangsungan usaha. Dalam banyak literatur ekonomi kelembagaan, kedua sektor ini membutuhkan pendekatan tata kelola yang sangat berbeda (Geng, dkk. 2009).
Ketika Danantara menyatakan ambisinya untuk mengkonsolidasikan seluruh BUMN, tanpa klasifikasi sektoral yang eksplisit, ia mulai menjelma menjadi entitas yang sangat besar namun kehilangan kejelasan fungsi. Dalam istilah kelembagaan, ini menimbulkan risiko "too big to govern"---yakni kondisi ketika skala dan kompleksitas suatu lembaga melebihi kapasitas tata kelola yang tersedia. Bukan hanya risiko birokratis, tapi juga konsekuensi substantif terhadap arah kebijakan publik. Jika semua BUMN, baik strategis maupun kompetitif, digabungkan dalam satu entitas, maka batas antara fungsi komersial dan fungsi sosial menjadi kabur.
Di sinilah kita menghadapi bahaya mission creep---suatu kondisi di mana organisasi perlahan-lahan memperluas mandatnya di luar batas semula, tanpa kerangka akuntabilitas yang memadai. Ketika Danantara mengelola bank sistemik seperti BRI dan Mandiri, perusahaan migas seperti Pertamina, sekaligus industri semen dan pupuk, pertanyaannya bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga soal arah apakah Danantara bertugas mencetak laba, menjaga ketahanan nasional, atau menjadi instrumen kebijakan pembangunan? Tanpa delineasi yang jelas, organisasi akan terdorong ke dalam conflicting mandates, di mana logika korporat berbenturan dengan tanggung jawab sosial negara (Naughton, 2018).
Kondisi ini membuka jalan bagi apa yang disebut sebagai strategic drag ketika sumber daya strategis negara tersedot untuk menopang entitas yang seharusnya bersaing secara penuh di pasar. Misalnya, laba dari Telkom atau BRI dapat digunakan untuk menambal kerugian dari BUMN di sektor manufaktur berat yang tidak kompetitif, alih-alih dikembalikan sebagai dividen atau diinvestasikan untuk perluasan akses layanan. Akibatnya, terjadi inefisiensi alokasi modal, dan muncul distorsi ekonomi internal yang justru menghambat transformasi jangka panjang BUMN itu sendiri (Garca-Herrero & Ng, 2021). Artinya, dana dari BUMN yang untung bisa dipakai menutup kerugian BUMN yang tidak efisien. Akibatnya, perusahaan yang sehat kehilangan insentif untuk berkembang, sementara yang lemah terus disubsidi. Ini membuat reformasi mandek, karena yang baik tak diberi ruang tumbuh, dan yang buruk tak pernah dipaksa berubah
Pelajaran penting dapat diambil dari model seperti Temasek Holdings di Singapura. Temasek tidak mengelola semua BUMN negara, tetapi hanya perusahaan yang telah selesai proses komersialisasinya. Perusahaan dengan misi publik yang lebih kuat, seperti sektor transportasi dan perumahan, tetap berada di bawah statutory boards atau kementerian teknis. Dengan demikian, diferensiasi fungsi antara public service dan commercial investment tetap terjaga (Vlgyi, 2019). Temasek juga menjaga struktur portofolio yang jelas, transparan, dan berbasis pada analisis risiko sektoral yang mendalam.
Tanpa diferensiasi seperti itu, Danantara berpotensi mengalami kehilangan legitimasi publik. Masyarakat dapat menilai bahwa negara sedang melepaskan kendali atas layanan publik yang vital, atau menciptakan konglomerat negara yang terlalu kuat dan tidak akuntabel. Dalam situasi ini, holdingisasi justru menjadi instrumen konsentrasi kekuasaan, bukan desentralisasi akuntabilitas. Risiko politisasi pengelolaan BUMN menjadi lebih tinggi, dan kepercayaan terhadap arah reformasi ekonomi bisa menurun drastis.
Untuk itu, langkah awal yang mendesak adalah pembentukan klasifikasi portofolio BUMN berdasarkan sektor dan fungsi, yang secara tegas memisahkan pendekatan pengelolaan antara aset strategis dan aset kompetitif. Aset strategis harus tetap dikendalikan dengan prinsip publik, termasuk pengawasan parlemen dan publik luas. Aset kompetitif sebaiknya diarahkan menuju efisiensi dan akuntabilitas korporasi, dengan target jangka panjang pelepasan sebagian kepemilikan dan peningkatan kinerja pasar.
Tanpa langkah-langkah seperti ini, Danantara akan terus bergerak dalam ambiguitas struktural yang membingungkan, too big to govern, terlalu kompleks untuk dipertanggungjawabkan, dan terlalu bercampur untuk dimodernisasi. Dalam sejarah reformasi BUMN global, organisasi seperti ini jarang berhasil menjadi mesin transformasi ekonomi (Cardinale, Vermeiren, & Wolf, 2024). Sebaliknya, ia lebih sering menjadi labirin kelembagaan yang mempersulit akuntabilitas, memperbesar risiko sistemik, dan membekukan agenda reformasi yang sesungguhnya.
Referensi:
Cardinale, I., Vermeiren, M., & Wolf, M. (2024). Global state-owned enterprises in the 21st century. Cambridge University Press. (Dalam proses publikasi; gunakan ini sebagai placeholder jika belum tersedia DOI.).