Mohon tunggu...
Ruslan Effendi
Ruslan Effendi Mohon Tunggu... Suka mengamati anggaran negara dan BUMN. Lulusan S3 Akuntansi UGM.

Penulis pada International Journal of Public Administration

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

APBN KiTa, interlokutor Moral KiTa?

17 Maret 2025   21:46 Diperbarui: 17 Maret 2025   21:46 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
magnifying-glass-fallen-coins-infographic, Image by freepik

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)  adalah instrumen utama pemerintah dalam mengelola keuangan negara. Namun, lebih dari sekadar dokumen fiskal, APBN mencerminkan nilai-nilai moral yang dianut oleh pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya nasional. Defisit APBN sebesar Rp31,2 triliun per Februari 2025 yang diumumkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjadi sorotan publik. Defisit ini bukan hanya sekadar angka ekonomi, tetapi juga mengajukan pertanyaan lebih besar: apakah APBN KiTa sudah benar-benar berperan sebagai interlokutor moral bagi rakyatnya?Konsep interlokutor  moral dalam akuntansi, sebagaimana dikembangkan oleh Kraus et al. (2024), menyoroti bagaimana praktik akuntansi dapat menjadi alat refleksi moral yang mempertimbangkan berbagai nilai dan kepentingan. Dalam konteks APBN, ini berarti bahwa kebijakan fiskal tidak hanya harus mempertimbangkan efisiensi ekonomi, tetapi juga nilai-nilai keadilan sosial, kesejahteraan masyarakat, dan keberlanjutan lingkungan.

Defisit APBN: Sebuah Cermin Kebijakan?
Laporan terbaru menunjukkan bahwa APBN mengalami defisit Rp31,2 triliun atau 0,13% dari PDB, berbeda dengan surplus Rp22,8 triliun yang tercatat pada periode yang sama tahun lalu. Penyebab utama defisit ini adalah penurunan realisasi pendapatan negara, yang hanya mencapai Rp316,9 triliun atau 10,5% dari target, sementara belanja negara mencapai Rp348,1 triliun. Sebagai interlokutor moral, APBN seharusnya tidak hanya melaporkan angka-angka ini, tetapi juga menjawab pertanyaan mendasar mengenai distribusi anggaran dan apakah mencerminkan keadilan sosial. Dalam konteks Teori Rawls, keadilan sosial harus mencerminkan keseimbangan antara kepentingan berbagai kelompok masyarakat. Oleh karena itu, perlu dianalisis bagaimana keputusan fiskal ini memengaruhi kelompok paling rentan dan apakah kebijakan ini telah diuji dalam kesetimbangan reflektif.

Rawls menekankan pentingnya reflective equilibrium dalam menyusun kebijakan yang mempertimbangkan berbagai perspektif moral. Konsep reflective equilibrium adalah cara berpikir yang terus menerus menyesuaikan antara keyakinan kita dengan prinsip yang lebih umum sampai semuanya terasa masuk akal dan konsisten. Ini seperti ketika kita mencoba menyelaraskan pendapat kita dengan fakta, pengalaman, dan nilai-nilai moral yang kita pegang. Misalnya, kita sedang menyusun puzzle, tapi ada beberapa keping yang tidak cocok. Kamu akan terus mengatur ulang dan mengganti keping puzzle tersebut sampai semuanya menyatu dengan baik. Konsep reflective equilibrium bekerja dengan cara yang sama dalam berpikir: kita menyesuaikan pemikiran kita agar selaras dan masuk akal secara keseluruhan

Pemerintah perlu mempertanyakan apakah kebijakan defisit ini sudah melalui diskusi yang cukup mengenai kesejahteraan sosial dan ekonomi jangka panjang. Transparansi dan akuntabilitas juga menjadi aspek yang penting untuk dikaji. Akuntansi sebagai interlokutor moral dapat membantu pemerintah menilai apakah kebijakan defisit ini sudah sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang disepakati oleh masyarakat. Tanpa refleksi yang mendalam, APBN hanya menjadi laporan fiskal biasa, bukan alat komunikasi moral yang transparan dan bertanggung jawab.

Interlokutor Moral: Akuntabilitas dan Transparansi APBN
Jika APBN ingin benar-benar menjadi interlokutor moral, transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prioritas utama. Laporan APBN KiTa yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan setiap bulan sudah menjadi langkah baik, tetapi masih ada beberapa elemen penting yang perlu ditambahkan agar perannya sebagai alat moral semakin kuat. Salah satunya adalah analisis dampak sosial dan ekonomi. Pemerintah perlu meninjau bagaimana pengurangan penerimaan pajak berdampak pada kesejahteraan masyarakat, termasuk program mana yang mengalami pemotongan anggaran dan bagaimana efeknya terhadap kelompok rentan. Selain itu, pelaporan berbasis kinerja harus diperkuat dengan tidak hanya mencatat realisasi anggaran, tetapi juga mengevaluasi efektivitas penggunaan dana serta menampilkan indikator capaian untuk setiap proyek atau kebijakan.

Visualisasi prinsip moral dalam pengelolaan APBN juga dapat menjadi alat yang efektif, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Kraus et al. (2024), bahwa visualisasi prinsip-prinsip moral dalam pengambilan keputusan dapat membantu dalam menyusun kebijakan yang lebih adil. Pemerintah dapat menggunakan metode serupa untuk menunjukkan bagaimana alokasi anggaran mencerminkan nilai-nilai moral yang dianut. Selain itu, partisipasi publik dalam pengambilan keputusan APBN harus ditingkatkan. Masyarakat harus diberi kesempatan untuk memberikan masukan terhadap pengelolaan APBN melalui kanal interaktif. Ini dapat meningkatkan legitimasi kebijakan fiskal dan memastikan bahwa APBN benar-benar berfungsi sebagai alat komunikasi moral. Tanpa tambahan elemen-elemen ini, APBN akan sulit berfungsi sebagai interlokutor moral yang benar-benar mencerminkan kepentingan rakyat.

Penutup
APBN bukan sekadar alat teknokratis untuk mengelola keuangan negara. Sebagai interlokutor moral, APBN harus mampu mengartikulasikan nilai-nilai keadilan, keberlanjutan, dan tanggung jawab sosial dalam setiap rupiah yang dikeluarkan dan dikumpulkan. Dengan menerapkan prinsip reflective equilibrium ala Rawls, pemerintah dapat lebih bijak dalam mengelola defisit, memastikan bahwa keputusan fiskal tidak hanya efisien secara ekonomi tetapi juga adil secara sosial. Jika pemerintah ingin menjaga kepercayaan publik, maka transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan kepada rakyat harus menjadi landasan utama dalam pengelolaan APBN. Dengan begitu, APBN tidak hanya menjadi dokumen fiskal, tetapi juga menjadi suara moral yang berbicara untuk seluruh rakyat Indonesia.

Referensi:
Kraus, K., Mikes, A., & Vliz, C. (2024). "Bringing morality back in: Accounting as moral interlocutor in reflective equilibrium processes." Accounting, Organizations and Society, 113 (July). https://doi.org/10.1016/j.aos.2024.101570

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun