Mohon tunggu...
Sandra Sopian
Sandra Sopian Mohon Tunggu... -

Orang Bandung, Indonesia. :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Agama dan Akal

2 Oktober 2015   00:00 Diperbarui: 2 Oktober 2015   00:10 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Tidak perlu menjadi Atheis untuk bisa merasakan nikmat segarnya sebuah Iman”.

Agama harus bisa menampung segala hal ; nalar, kebenaran, kekritisan, dan karenanya harus pula bisa menjawab semua rasa keingintahuan dari setiap orang yang berkecimpung di dalamnya ataupun yang bukan. entah itu mereka yang menjadikan agama sebagai lahan kajian, untuk ketenangan hidup atau motif-motif lainnya. karena bila tidak, maka kelaut aja deh! :D Karena bukankah agama seharusnya memang menjadi sebuah solusi atas kehidupan, kan ? saya meyakini, bahwa (salah satunya) untuk itulah agama ada. bukan justru malah mengekang akal dan membatasi kebebasan, seminimalnya dalam ranah berpikir.

Karena begini, seringkali, justru seorang atheis lebih faham dan mengerti tentang makna kehidupan dan keyakinan dibanding orang yang setiap harinya beribadah. orang atheis lebih merasa bebas dalam berpikir dan mampu untuk menolak argumentasi agama yang dirasa tidak sesuai dan cenderung tidak logis. ini bukan masalah apakah agama itu harus masuk akal, tetapi setidaknya dengan pendekatan nalar biasa, agama mampu dan bisa mengakomodirnya. saya jadi teringat perkataan seseorang yang lebih menjurus kepada pertanyaan, dia bilang ; Apakah harus menjadi atheis terlebih dahulu untuk bisa merasakan kenikmatan iman dan dalam penyembahan terhadap Allah yang tanpa ada kepura-puraan?.

Dengan begitu, hampir tidak ada bedanya antara pikiran atheistik dan filsapat. Mungkin karena memang dari sananya bukan islam yang alergi terhadap hal-hal tersebut, tetapi “orang-orangnya” yang mengatasnamakan agama dan bertindak seolah pahlawan yang menjadi semacam benteng penjaga kemurniaan agama hingga tidak mau agama dimasuki oleh ‘racun’ semacam pikiran atheistik atau filsapat.

Kita mungkin pernah tahu gonjang-ganjing dan pertentangan antara filsapat dan agama. Kecenderungan muslim (dahulu, dan bisa jadi mungkin untuk sekarang juga :) ) untuk menolak filsapat adalah karena ia merupakan ilmu yang terlalu kritis dan mengedepankan nalar (rasionalitas). Jeleknya filsapat, menurut mereka, karena seseringnya malah hanya membuat keraguan dan kebimbangan yang tidak perlu(?), dan (kalaupun ada) bagusnya, paling banter hanya menghasilkan dugaan dan kebingungan lainnya. kenyataan ini sangat kontras bila melihat kitab suci yang bahkan bisa memberikan jaminan untuk masuk surga (dengan mengikuti apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarangnya).

Pandangan ortodoks yang lazim di kalangan muslim, seperti juga ortodoksi dalam agama kristen atau yahudi sebenarnya sederhana ; tidak ada waktu maupun kebutuhan akan filsapat di dunia yang sarat dengan keadilan dan berkah ilahi. Bukankah kitab Allah memuat bimbingan dan pendidikan yang lebih dari cukup untuk umat islam? atau, selebihnya, mungkin mereka yang mengatasnamakan kaum religius lebih ngeri lagi terhadap dampak dari filsapat itu sendiri, yang bila tidak mampu di bantah oleh argumen agama, maka itu artinya menempatkan agama berada di bawah filsapat. sementara seperti yang kita tahu, agama masih berharap untuk bisa jumawa dan tampil menjadi yang terdepan diatas segalanya, minimal di mata pengikutnya. Tapi apakah memang agama seperti itu? seharusnya bila agama benar dan mengandung kebenaran, serta bila filsapat adalah benar dan mengandung kebenaran (atau juga mengandung kekeliruan), harusnya bisa berjalan beriringan tanpa ada saling curiga satu sama lain. begitu kah? Oh, ternyata masalahnya tidak sesimpel itu, Bung.

Perhatikan saja misalnya argumentasi imam al-Ghazali yang membantah habis-habisan pandangan filosop platonik seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. meskipun kita menyadari bahwa keberatan imam ghazali bukan terletak pada filsapatnya, tetapi hanya pada sebagian pandangan-padangannya saja yang terlihat rancu dan tidak bisa dipaksakan untuk disamakan dengan islam. konsepsi al-Ghazali berangkat dari pakem agama, dan menggunakan dalih agama (plus sedikit nalar) untuk membuktikan kekacauan filsapat seperti yang tertuang di bukunya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsapat). beberapa abad setelahnya Ibn Rusyd datang untuk mengkoreksi buku tersebut dengan bukunya Tahafut at-Tahafut (kerancuan buku kerancuan). Meskipun buku al-Ghazali nyatanya berdampak cukup signifikan terhadap pandangan kaum muslim disbanding bantahannya dari Ibn Rusyd tersebut. ternyata, Ibnu Rusyd justru jauh lebih rasionalis daripada Ghazali. :D

Dalam catatan pinggir, Goenawan Muhammad pernah bilang bahwa menurut para pengkritiknya al-Ghazali menggunakan metode filsapat untuk menghantam filsapat sebab ia tidak menyukai pemikiran bebas. seorang filosop tidak mungkin tunduk pada doktrin. Padahal Ibn Rusyd percaya bahwa filsapat dan agama ibarat dua anak yang disatukan oleh seorang ibu penyusu, dari mana mereka tumbuh sehat.

Dengan akal jernih pun sebenarnya hal ini sudah bisa dipastikan bahwa tidak ada pertentangan antara akal dan agama (teks atau wahyu). Karena sesuai dengan teks agama, akal adalah lawan bicara yang dibebani keharusan untuk memahami agama, mengamalkannya, melakukan ijtihad (penarikan kesimpulan hukum) dan berpikir tentang hal yang tidak ada teksnya. akal telah diberi naql atau wahyu hak untuk memikirkan segala hal yang ada di alam semesta dan kehidupan ini. Naql tidak pernah melarang akal untuk melakukan hal tersebut. bahkan, ia menyuruh dan mengajaknya untuk melakukan riset dan inovasi. intinya, dalam peradaban islam tidak pernah terjadi pertentangan antara ilmu dan agama, antara naql dan akal.

Ulama menegaskan bahwa wahyu dan akal adalah dua alat petunjuk untuk mencapai kebenaran. “Dalam ciptaan-Nya, Allah Subhanahu wa ta’ala mempunyai dua utusan : Pertama, Internal, yaitu akal. Dan kedua, Eksternal, yaitu Nabi. Tidak ada seorang pun yang berhak mengambil utusan internal tetapi meninggalkan utusan eksternal. utusan internal bisa mengetahui kebenaran utusan eksternal. kalaulah tanpa hal itu, pasti argumentasi Nabi akan ditolak. untuk itulah, Allah mengajak orang yang meragukan keesaan-Nya dan kebenaran utusan-Nya untuk menggunakan akal, yaitu dengan menyuruh orang tersebut untuk minta tolong kepada akal.

Dengan demikian, sesuai seperti pendapatnya al-Qaradhawi yang menyebutkan bahwa akal adalah pemimpin sedangkan agama adalah pendukung. Sehingga kalaulah tanpa akal, agama tidak akan ada. serta, kalaulah tanpa agama, akal akan menjadi bingung. dengan demikian, keduanya harus berkumpul. Hal serupa ditegaskan oleh imam Ghazali dalam beberapa bukunya, seperti dalam mukadimah ‘Al-Mustashfa’, dia menulis bahwa “Akal adalah hakim yang tidak mungkin bisa dijauhkan dan diganti. sedangkan syariat adalah saksi suci dan adil. Ia menjadikan akal sebagai perahu agama dan pemegang amanat. Atau dalam Ihya ulum al-Din, al-Ghazali menulis bahwa akal selalu membutuhkan syariat dan juga sebaliknya. “Ilmu-ilmu akal seperti makanan dan ilmu-ilmu syariat seperti obat. Jika obat hilang, orang sakit pasti akan makan makanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun