Oleh: Cakra Arbas, SH.I, MH.
Perjalanan ketatanegaraan telah melahirkan dinamika dalam perkembangan Pemilukada di Indonesia, pada masing-masing periodenya Pemilukada telah dijalani dengan berbagai model dan sistem, baik model pemilihan yang dilakukan oleh lembaga DPRD, hingga dewasa ini model yang dilaksanakan adalah secara langsung (one man one vote). Serta juga telah melalui berbagai sistem, baik Pemilukada yang tidak berposisi sebagai entitas dari Pemilihan Umum, hingga dewasa ini yang memposisikan Pemilukada sebagai entitas dari Pemilihan Umum.
Namun demikian, berbagai element bangsa Indonesia pada akhir-akhir ini telah turut serta berkepentingan dengan friksi dan wacana yang berkembang mengenai proses pelaksanaan Pemilukada yang akan diimplementasikan pada masa depan, dalam hal ini proses Pemilukada kedepannya akan dilaksanakan oleh lembaga DPRD. Penting untuk digarisbawahi, apakah friksi dan wacana proses pemilukada nasional yang akan dilaksanakan oleh lembaga DPRD memiliki equivalensi dengan Pemilukada di Aceh ?
Realita Pemilukada
Pemilihan umum dari sudut pandang ketatanegaraan merupakan salah satu jalan penting buat mengakhiri situasi temporair dalam ketatanegaraan, termasuk bidang perlengkapan negara. Konsekuensi logisnya, dengan berhasilnya pemilihan umum, diharapkan badan-badan perlengkapan negara yang lama diganti dengan badan-badan negara sebagai produk pemilihan umum (M. Solly Lubis, 1971:180-181).
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara tegas memberikan landasan yang kuat tentang asas penyelenggaraan pemilu, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 22E ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi “pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Muhammad Asfar mencatat bahwa secara konseptual, terdapat dua mekanisme yang dapat dilakukan untuk menciptakan pemilihan umum yang bersifat demokratis secara bebas dan adil, yaitu : (a). Menciptakan seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilih kedalam suatu lembaga perwakilan rakyat secara adil. (b). Menjalankan pemilihan umum sesuai dengan aturan main dan prinsip-prinsip demokrasi. (Muhammad Asfar, 2005:3-4).
Mengenai realita yang terjadi dalam Pemilukada, pada awalnya tidak berposisi sebagai suatu entitas dari Pemilihan Umum, akan tetapi setelah lahirnya Undang-undang No. 22 Tahun 2007 juncto Undang-undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, telah memposisikan Pemilukada sebagai suatu entitas dari Pemilihan Umum, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 4, yang berbunyi “Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Laica Marzuki menyatakan Pemilukada secara langsung merupakan (disamakan) dengan Pemilu, diantaranya dengan argumentasi sebagai berikut: “... dari sudut pandang konstitusi, pemilukada langsung adalah pemilihan umum, sebagaimana dimaksud Pasal 22E ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. Tatkala pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tergolong pemilihan umum (pemilu) dalam makna general election menurut Pasal 22E ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, mengapa nian pemilukada langsung tidak termasuk dalam pasal konstitusi dimaksud ? hal dimaksud harus diamati dari sudut penafsiran sejarah (historische interpretatie). Pasal 22E ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 berlaku kala perubahan ketiga (3), yang diputuskan dalam Rapat Paripurna MPR-RI ke-tujuh (7) pada tanggal 9 November 2001. Disisi lain, Pasal 18 merupakan hasil amandemen yang kedua (2). Dikala itu, pemilukada langsung belum merupakan gagasan ide konstitusi dari pembuat perubahan konstitusi. Pembuat perubahan konstitusi belum merupakan idee drager atas pemilukada langsung”. (Putusan MK No. 072-073/PUU-III/2004:54)
Berdasarkan berbagai uraian yang pada akhirnya dewasa ini telah mengklasifikasi Pemilukada sebagai suatu entitas dari Pemilu sekaligus menerapkan model dan sistem Pemilukada secara langsung (one man one vote) merupakan suatu perkembangan yang signifikan dalam rangka penyelenggaraan demokrasi di tingkat lokal. Menurut penulis, praktik Pemilukada yang diterapkan dimasa lalu, yakni pelaksanaan Pemilukada secara tidak langsung (dilakukan oleh DPRD). Hanya lebih didominasi oleh tawar-menawar (bargaining) antar fraksi yang ada di DPRD. Dan walaupun pemilukada secara langsung tidak menutup peluang adanya money politic, namun jika Pemilukada dilaksanakan secara tidak langsung, maka money politic hanya terjadi dikalangan elite saja.
Pemilukada Konteks Nasional
Paska berakhirnya rezim Orde Baru, dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan, khususnya Pemerintahan Daerah turut mengalami perubahan. Salah satu perubahan yang mendasar dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, yaitu diterapkannya model dan sistem pemilihan Kepala Daerah secara langsung (one man one vote), yang pada perkembangan selanjutnya dikenal dengan adagium Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah).