Mohon tunggu...
Muh Muhaimin
Muh Muhaimin Mohon Tunggu... lainnya -

Kepala Madrasah Ibtidaiyah PPAI Jl.Raya 38 Pandaanajeng Kec. Tumpang Kab. Malang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Seni Gamelan dan Madrasah

24 Desember 2013   19:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:31 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wayang, adalah seni yang memiliki  filosofi yang luar biasa, merupakan akulturasi Hindu Islam. Yang mentrasformasikan pendidikan akidah dari Hindu ke Islam. Dewa yang merupakan Tuhan dalam agama Hindu, berubah tokoh dewa pada wayang kulit sebagai hamba Tuhan yang terpilih dan memiliki kelebihan dengan hadirnya tokoh dewa  Semar, Bagong, Petruk dan Nala Gareng.

Wayang dan Gending.

Mungkin dalam era kolonial gending dan gamelan dijadikan tontonan maksiat, sehingga para sesepuh agama berfatwa bahwa gamelan itu (belum ada musik lain) haram hukumnya. Dan gugon tuhon (taat karena patuh) disampaikan pada cucu-cucu, gemelan itu adalah musik haram

Sekarang?

Gamelan dianggap tabu dan sangat tabu jika ada di kalangan madrasah. Saking tabunya meletakkannya di bawah musik nDangdut (Melayu) yang lebih amoral.  Yang ada pada peserpsi para cucu fanatik ini  adalah musik Melayu lebih dekat dengan tabuhan Islam (=Arab),  sehingga jarang sekali dijumpai sekolahan Islam atau madrasah-madrasah mengajarkan musik gamelan. Opini yang sudah tertanam saat ini, jika madrasah mengajarkan  musik gending Jawa dapat menyebabkan madrasah ditinggal 'audien'nya. Bayangkan jika madrasah membeli seperangkat gamelan, pasti warga protes. Begitu kuatnya gugon tuhon para audien madrasah kita saat ini

Wayang kulit >< Senetron>< Gamelan
Sebenarnya jika diperhatikan wayangkulit  tidak jauh dari  maksiat karena yang ditonton adalah kulit bukan manusia. Sedangkan  sinetron banyak mempertontonkan  aurat wanita.
Gamelan dan para panjak, wiIyogo, menabunya mempunya tatakrama, harus menghadap ke depan, dengan pakaian takwa (pakaian takwa), dan tidak jingkrak-jingkrak, para sinden duduk bersimpun dengan suaranya yang khas, tidak menari-nari.  Sedangkan musik Melayu ndandut, pemusiknya jingkrak-jingkrak, dengan menonjolkan auratnya dan para biduannya sering menunjukkan gerakan-gerakan erotisnya
Penonton wayang, duduk manis, damai, sementara penonton Orkes Melayu cenderug tawuran dan mabukan Baiklah, jika semua bentuk musik itu haram, suara wanita aurat, tetapi kita harus adil, jangan meletakkan musik Jawa paling haram, bahkan paling tabu jauh di bawah musik Melayu yang sekarang sudah sama dengan gaya Lady Gaga. Jika semua pendidikan di Indonesia enggan mengajarkan musik gamelan yang asli milik Indonesia termasuk madrasah, jangan sampai sakit hati, jika nilai dan kepemilikan ini diakui oleh negara tetangga  yang mungkin saja memasukkan kurikulum gamelan ke dalam Pendidikan Dasar mereka.  Sekarang tugas siapa yang mengubah mindset  masyarakat yang sudah terbalik dan tidak adil terhadap pandangan musik Jawa ini. Tentunya para ustadz-ustadz di madrasah, sebagai penerus dakwah model Walisanga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun