Teknologi pengolahan sampah ini memang lebih menguntungkan dari pembangkit listrik lainnya. Sebagai ilustrasi: 100.000 ton sampah sebanding dengan 10.000 ton batubara. Selain mengatasi masalah polusi bisa juga untuk menghasilkan energi berbahan bahan bakar gratis juga bisa menghemat devisa negara.
Salah satu hambatan penggunaan teknologi ini di Indonesia adalah sampah rumah tangga Indonesia yang cenderung basah sehingga nilai kalorinya rendah dan membutuhkan lebih banyak tambahan batubara untuk membakar sampah.
Implikasinya, pemerintah harus mulai memikirkan penggunaan truk-truk sampah yang bisa melakukan pemampatan sampah dan mengurangi kadar air sebelum sampai ke tempat pembuangan sampah akhir.
Langkah pemerintah Indonesia untuk mengubah sampah menjadi sumber energi tentu terdengar menarik, tapi bagi sebagian aktivis lingkungan, upaya itu justru lebih banyak menimbulkan pencemaran berbahaya daripada bermanfaat menghasilkan listrik.
Alasannya karena dianggap bertentangan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah di Indonesia. Perpres soal pembangkit listrik tenaga sampah 'yang berpotensi masalah' itu sudah menyebut secara spesifik penggunaan metode thermal incinerator atau pembakaran yang akan mengubah sampah untuk menjadi energi di tujuh kota, yaitu Jakarta, Tangerang, Bandung, Semarang, Surabaya, Solo, dan Makassar.
Menurut Margaretha Quina dari Pusat Hukum Lingkungan, CEL, "Pembakaran (sampah) itu sebenarnya sudah dilarang secara eksplisit oleh Undang-undang Pengelolaan Sampah. Kalau kita lihat dari perda-perda dari tujuh kota yang ada sekarang, tidak satupun memberi ruang untuk membakar sampah lewat PLTSa."
Sementara juga sudah ada larangan membakar plastik dan kandungan plastik pasti akan ada dalam tumpukan sampah. Proses mengubah sampah menjadi energi akan dilakukan menggunakan teknologi thermal atau incinerator yang membakar sampah.
Selain dinilai melanggar larangan membakar sampah yang dibuat sendiri oleh pemerintah, pembangkit listrik tenaga sampah diduga justru akan mengeluarkan lebih banyak energi untuk mendapat listrik yang tak seberapa, mengingat karakteristik sampah Indonesia yang tak dipilah sehingga cenderung basah.
Sampah yang basah, menurut Margaretha, membutuhkan energi tambahan untuk dikeringkan dan juga agar suhu tungku pembakaran tetap tinggi. Belum lagi, setelah pembakaran akan tersisa abu yang dicemaskan mengandung zat pencemar yang persisten dan berbahaya bagi lingkungan."Ini limbah B3 yang proses penanganannya harus khusus, sehingga biaya tambahannya akan sangat besar," jelas Margaretha.