Judul Buku : Negara Hukum dan Demokrasi Di Indonesia Penulis : Abdul Aziz Hakim Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta Cetakan: Pertama, 2011 Tebal : 284 halaman ISBN : 978-602-9033-41-0 Peresensi: Lukman Santoso Az Di era modern saat ini, ide negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) menjadi keniscayaan dibanyak negara. Negara hukum demokrasi merupakan konsep negara yang mengupayakan keterlibatan masyarakat dalam penentuan kebijakan publik. Dalam abad ini hampir tidak ada satu negara pun yang menganggap sebagai negara modern tanpa menyebutkan dirinya negara berdasarkan atas hukum. Atas dasar itu kemudian, negara hukum muncul dalam berbagai model dan karakteristik, seperti negara hukum menurut Islam yang di sebut nomokrasi Islam, negara hukum Eropa Kontinental yang disebut rechtsstaat yang dipelopori oleh FJ Stahl, negara hukum Anglo-Saxon yang disebut rule of law yang dipelopori oleh A.V. Dicey, konsep negara hukum sosialis legality yang ada di negara-negara sosialis, dan negara hukum Pancasila yang ada di Indonesia, yang kesemuanya memiliki dimensi kesejarahan yang berbeda, namun sejatinya memiliki esensi yang sama, yakni pemerintahan berdasarkan hukum dan dijaminnya hak-hak rakyak. Dengan demikian pengawasan terhadap penggunaan kekuasaan dan pembuatan hukum dapat dilakukan dengan demokratis oleh rakyat melalui kekuasaan legislatif, sedangkan pengawasan hukum terhadap penggunaan kekuasaan yang menyimpang dari hukum dapat dilakukan pada badan-badan yudikatif. Esensi dari lahirnya sebuah negara adalah lahirnya ketentraman dalam kehidupan masyarakat. Untuk mewujudkan itu, hukum ditetapkan sebagai pranata terhadap hak dan kewajiban anggota masyarakat serta keharusan untuk menaatinya. Jika ketaatan pada hukum ini hanya diserahkan kepada kemauan bebas manusia sepenuhnya, maka tujuan kaidah hukum akan sulit dicapai. Karenanya, perlu diiringi dengan sanksi untuk mempengaruhi kemauan bebas itu yang berarti memaksa anggota masyarakat untuk taat pada hukum agar antar individu menghargai hak satu sama lain. Pamaksaan ketaatan akan kewajiban hukum ini membawa kita kepada konsepsi negara hukum. Gagasan itulah yang hendak diketengahkan oleh Abdul Aziz Hakim melalui buku berjudul Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia ini. Buku ini berisi tentang bagaimana unsur-unsur negara hukum hadir dan dirumuskan, yang kemudian menjadi sistem dibanyak negara, termasuk Indonesia. Konsepsi negara hukum dalam perjalannnya memang kemudian bersinggungan dengan perkembangan modern yang melahirkan konsepsi bahwa negara hukum dan demokrasi sejatinya kompatibel. Bagi Hakim dalam buku ini, dalam upaya mewujudkan negara hukum tersebut, peran sistem demokrasi menjadi urgen. Hubungan di antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna. Sehingga negara hukum demokrasi (democratische rechtsstaat) itu tidak lain merupakan konstitusi dalam arti ideal (ideal begriff der verfassung). Artinya, dalam konteks modern, hukum dan demokrasi menjadi keniscayaan dalam penyelenggaraan negara. Demokrasi dianggap sangat dekat dengan konsep kedaulatan rakyat yang menekankan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, sehingga sinergisitas kedua konsep ini adalah bagaimana membentuk suatu pemerintahan yang didasarkan atas kehendak bersama dan untuk menjalankan kepentingan rakyat banyak. Hakim menambahkan, sebuah negara hukum, baik dalam arti rechstaat maupun the rule of law, dapat disebut negara hukum demokratis ketika memenuhi beberapa ketentuan, yaitu: 1) Diterapkannya asas legalitas, artinya setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas dasar peraturan perundang-undangan (wettelijke grondslag); 2) Pembagian kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan Negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan; 3) Dipenuhinya hak-hak dasar (grondrechten), yakni hak-hak dasar merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan Undang-Undang; dan 4) Pengawasan pengadilan bagi rakyat, yakni tersedianya saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan (rechtmatigheidstoetsing) tindak pemerintahan. Namun, tampaknya artikulasi konsepsi negara hukum yang diusung Hakim dalam buku ini kurang sesuai dengan realitas negara hukum saat ini, khususnya di Indonesia. Seharusnya, sebuah negara hukum modern yang demokratis tidak hanya bertumpu empat aspek tersebut, tetapi lebih dari itu, yakni: Supremasi hukum (supremacy of law); Persamaan dalam hukum (equality before the law); Asas legalitas (due process of law); Pembatasan kekuasaan; Organ-organ eksekutif independen; Peradilan bebas dan tidak memihak; Peradilan tata usaha negara; Peradilan tata negara (constitutional court); Perlindungan HAM; Bersifat demokratis (democratische rechtsstaat); Berfungsi sebagai sarana mewujudkan Tujuan bernegara (welfare rechtsstaat); dan Transparansi serta kontrol sosial. Dengan demikian, penyelenggara negara benar-benar bersandar pada aturan-aturan dasar konstitusional. Demikian pula pada konteks Indonesia pasca amandemen UUD 1945, tentu saja berpengaruh terhadap sistem dan materi peraturan perundang-undangan yang telah ada. Perubahan UUD 1945 membawa implikasi terhadap sistem bernegara, penataan lembaga Negara serta peratiran perundang-undangan. Adanya perubahan UUD 1945 tentu menghendaki adanya perubahan sistem peraturan perundang-undangan, serta penyesuaian materi muatan berbagai peraturan perundang-undangan yang telah ada dan berlaku. Menurut Hakim, sebagai wujud perjanjian sosial tertinggi, konstitusi Indonesia memuat cita-cita yang akan dicapai dengan pembentukan negara. UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia merupakan dokumen hukum dan dokumen politik yang memuat cita-cita, dasar-dasar, dan prinsip-prinsip penyelenggaraan kehidupan nasional. Cita-cita pembentukan negara kita kenal dengan istilah tujuan nasional yang tertuang dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu (a) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (b) memajukan kesejahteraan umum; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (d) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Cita-cita tersebut akan dilaksanakan dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berdiri di atas lima dasar yaitu Pancasila sebagaimana juga dicantumkan dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945. Untuk mencapai cita-cita tersebut dan melaksanakan penyelenggaraan negara berdasarkan Pancasila, UUD 1945 telah memberikan kerangka susunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Norma-norma dalam UUD 1945 tidak hanya mengatur kehidupan politik tetapi juga kehidupan ekonomi dan sosial. Hal ini karena para pendiri bangsa menghendaki bahwa rakyat Indonesia berdaulat secara penuh, bukan hanya kedaulatan politik. Maka UUD 1945 merupakan konstitusi politik, konstitusi ekonomi, dan konstitusi sosial yang harus menjadi acuan dan landasan secara politik, ekonomi, dan sosial, baik oleh negara (state), masyarakat (civil society), ataupun pasar (market). Dalam buku setebal 284 halaman ini, Hakim juga mengupas tentang upaya dekonstruksi paradigma negara hukum positivisme dalam konteks kekinian. Paradigma hukum positivisme dianggap telah membawa kekakuan sistem hukum Indonesia dan menjauhkannya dari rasa keadilan masyarakat serta kaum marjinal. Selain itu, terkait problematika demokrasi di tingkat lokal, penting kiranya untuk dilakuakn penataan kembali, karena harapan membawa proses demokratisasi di tingkat lokal justru mengalami carut-marut dan merajalelanya korupsi di daerah. Tujuan yang baik dari negara hukum sejatinya dipusatkan pada penciptaan kesejahteraan rakyat, dan kesejahteraan itulah yang menjadi hukum tertinggi bagi negara dan kekuasaan negara (solus populi suprema lex). J. Barent menyebut tujuan negara hukum ialah pemeliharaan ketertiban, keamanan, serta penyelenggaraan kesejahteraan umum dalam arti seluas-luasnya, termasuk dalam spek politik, ekonomi, sosial dan budaya. Akhirnya, buku ini menjadi ungen untuk dibaca oleh siapapun yang menghendaki tercapainya tujuan negara hukum tersebut, utamanya negara kesejahteraan (welfare staat) dalam tataran teoritis maupun praktis. *Lukman Santoso Az, Pegiat pada STAIDA Institute; Peserta Program Magister Ilmu Hukum UII Yogyakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H