Umum
Begitu memasuki Ramadhan siap-siaplah semua umat islam untuk mempersiapkan apa-apanya…, tapi justru sering terlihat berlebihan…. tapi nantilah itu kita bahas…, lain kali. Ada hal yang selalu (saya anggap lucu) ketika Ramadhan tiba, banyak seruan dari kyai, ustadz, mubaligh atau apalah sebutannya mengajak untuk berlomba-lomba dalam beribadah.
Hmm emang ada perlombaan ibadah, ya? Kalau iya ada dong juaranya? Wah dapet mendali atau piala ya?
Wah ga tau ya, soalnya sampai sekarang belum pernah tuh, ketemu dengan juaranya lomba ibadah.
Untuk memancing lomba ibadah tadi para mubaligh tadi menyampaikan bahwa, "Ibadah pada bulan suci Ramadhan ini akan dikalikan 70 kali lipat atau sekian kali lipatlah. Ibadah sunnah akan dinilai sama dengan ibadah wajib dan ibadah wajib dan lain sebagainya, seperti iklan perbangkan saat ini, "Menabung di Bank Jono, Mercedez Benz menanti anda!" dan lain-lain. Membaca Al-Qur’an 1 hurufnya akan mendapatkan sekian pahala, bayangkan ada berapa huruf dalam 1 halaman Al-Qur’an."
Memang tidak ada salahnya para penyeru ini menyampaikan hal demikian, tapi tidakkah mereka bertanya kepada diri mereka sendiri, apakah esensi dari ibadah tersebut?
Apa sih pahala itu? Apakah sama dengan credit points? Atau cumme atau bonus atau entahlah apa lagi…
Bagaimana sih ibadah?
Rabiah Adawiah dalam do’a-nya selalu beliau memanjatkan: “Yaa Allah, bila aku beribadah kepada-Mu karena mengharap syurga-Mu, tutuplah pintu Syurga itu untukku selamanya, Bila aku beribadah karena mengharapkan pahalamu, buanglah pahala itu jauh-jauh dariku. Aku beribadah karena aku mencintaimu ya Allah.
Sebuah pemaknaan yang dalam dari ibadah. Ikhlas. Makna bahwa kita harus meningkatkan pemahaman kita akan ibadah. Sudah bukan waktunya lagi kita disibukkan dengan menghitung pahala. Sudah waktunya kita menyadari bahwa kewajiban yang kita kerjakan bukan sekedar kewajiban lagi tapi suatu kebutuhan individu.
Saya jelas tidak mengetahui sehingga muncul hitung-hitungan soal pahala ini, mungkin menurut perkiraan kita bahwa adanya hitung-hitungan soal pahala ini muncul karena adanya analogi-analogi agar kita dapat membayangkan bahwa beribadah itu seperti menabung, semakin banyak kita menabung maka semakin besar kemungkinan kita mendapatkan undian mobil dan sebagainya. Mungkin inilah yang terjadi dari tahun ke tahun sehingga kita sibuk mengumpulkan pahala. Artinya dengan mengerjakan ibadah kelak entah kapan kita akan mendapatkan hasil dari tabungan kita tersebut.
Salahkah? Hmm . . . jelas tidak. Tapi apakah benar? Wah ga tau juga nih. Suatu hal yang semestinya kita pahami adalah apapun yang kita kerjakan dalam rangka ibadah adalah ikhlas.
Kemudian, ikhlas itu apa, sih?
Pertanyaan yang sangat sederhana, tapi berapa di antara kita yang memahami maknanya?
Begini, pernahkah kita memberi seorang peminta-minta sejumlah uang, barang atau apalah namanya itu for free? Trus, pernahkah atau tidak kita mengingat-ingat apa yang telah kita berikan itu?
Kalau anda pernah melakukannya dan tidak pernah kepikiran lagi barang yang telah anda berikan tersebut dan anda merasa senang setelah memberikan pemberian tersebut, artinya anda telah memberikannya dengan ikhlas.
Beratkah berlaku ikhlas?
Rasanya tidaklah sebegitunya. Ingatkah anda ketika (maaf), “berak”, “kencing”? Hal yang kotor ini memberikan filosofi tentang ikhlas yang baik buat kita semua. Coba ingat, pernahkah sekali anda merasa menyesal karena, “berak”? karena sebelumnya anda telah makan Tom Yam yang begitu lezatnya, atau anda menyesal karena telah “kencing”, karena sebelumnya anda telah minum juz pinang muda buatan Ajo Sidi?
Manakala telah tiba waktunya anda untuk berak/kencing, siapapun atau apapun yang ada dihadapan anda tentunya akan anda tinggalkan saat itu karena harus menunaikan berak/kencing tadi. Siapa sudi menahannya terlalu lama. Dengan tanpa ada rasa menyesal, anda akan tinggalkan teman anda yang telah puluhan tahun tidak bertemu karena ingin berak/kencing tadi. Apapun pekerjaan anda, apapun janji anda, anda akan sukarela menunda sesaat. Karena saat anda harus berak/kencing telah tiba. Mengapa? Karena anda harus melakukannya. Tidak ada embel-embel lain.
Saat itu terjadi bahwa sebuah kewajiban yang telah menjadi kebutuhan anda. Ini yang harus diaplikasikan dalam beribadah.