Betul-betul sial nasib maskapai penerbangan Malaysia Airlines. Dunia masih belum hilang rasa heran atas raibnya MH370 sejak 8 Maret 2014, kini disusul jatuhnya MH17 di wilayah Ukraina timur. Diduga kuat pesawat angkut komersial itu terkena misil anti-pesawat.
Ada dua pertanyaan yang muncul di benakku. Rudal apa yang menjatuhkannya dan kenapa MH17 berani melintasi wilayah konflik bersenjata dengan eskalasi besar seperti pergolakan di Ukraina timur. Konflik ini sudah tersebar luas di penjuru dunia yang melibatkan negara-negara besar. Dengan Logika normal pasti perencana rute dan operator akan menghindari wilayah tersebut karena ada potensi resiko berbahaya. Meskipun belum dinyatakan secara eksplisit oleh badan penerbangan sipil internasional (ICAO) sebagai daerah larangan terbang. Kondisi praktis di lapangan sudah mengindikasikan bahwa wilayah Ukraina timur merupakan wilayah berisiko tinggi bagi penerbangan. Konflik bersenjata di sana telah memberi bukti sebelumnya. Beberapa kali helikopter dan pesawat terbang militer Ukraina ditembak jatuh oleh pihak pemberontak. Bahkan menewaskan seorang jenderal yang berada di dalam pesawat angkut militer Ukraina tersebut. Di samping itu ICAO di bulan April mengeluarkan Notam yang berisi saran mengalihkan jalur alternatif, ada potensi risiko berbahaya jika melewati rute Ukraina timur. Padahal jalur tersebut merupakan jalur strategis yang bisa mengurangi jarak tempuh dari Asia Tenggara ke Eropa. Tentu rute tersebut sangat ekonomis dalam mengurangi biaya operasional bahan bakar jet. Tetapi tidak sebanding dengan resiko yang mungkin bakal diterima.
Adanya rudal jarak menengah dalam konflik bersenjata di Ukraina timur membuat situasi keamanan semakin kompleks. Dalam konflik bersenjata dunia, sangat jarang pihak pemberontak mendapatkan atau mengoperasikan batere rudal pertahanan udara jarak menengah. Paling banter rudal panggul atau MANPADS dengan jarak jangkau pendek kurang dari 7 km dengan keterbatasan visual operatornya. Dalam versi upgrade modern, ada versi yang didukung oleh radar jarak pendek diplatform jeep. Posisi terakhir MH17 di posisi ketinggian 33.000 kaki. Hal ini menunjukkan bahwa misil yang menjatuhkannya bukanlah misil jarak pendek semacam SA-7 Strella. Namun misil jarak menengah semacam Buk SA-11 atau bahkan misil jarak jauh seperti S-200 dam S-300. Pengoperasian sistem hanud jarak menengah maupun jarak jauh meniscayakan dukungan radar kompleks. Bisa terkoneksi dengan sistem radar lainnya yang me deteksi target di luar jangkauan radar sistem misil. Hal ini tentu memerlukan prosedur operasi dan teknis yang tidak sederhana. Tidak juga menihilkan kemungkinan pihak pemberontak memiliki atau mengoperasikan sistem misil seperti itu. Peristiwa ini tentu membuat konflik di Ukraina timur semakin rumit dan mengkawatirkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H