Mohon tunggu...
Cak Idur
Cak Idur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Hobi membaca dan menulis. Tertarik dengan ICT, pertahanan, teknik, dan sosio-ekonomi.. Ngeblog juga di www.cakidur.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Songkok dan Jas Pejabat

1 April 2014   14:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:13 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pejabat-pejabat tinggi negara, mulai dari presiden hingga pak camat tak jarang terlihat dalam acara resmi mengenakan jas dengan kepala memakai kopyah atau songkok. Terlebih ketikq ada acara pelantikan jabatan. Suatu kebiasaan khas birokrat Indonesia, setelan jas dipadukan songkok. Mirip dengan pejabat bangsa Iran yang mengenakan jas tanpa dasi dengan kemeja berupa baju taqwa. Tentu maknanya berbeda sesuai dengan akar budaya masing-masing negara. Apa maksud kopyah di atas kepala pejabat negara yang mengenakan setelan jas?
Menurut Clifford Geertz, sosiolog Amerika Serikat yang mengamati budaya Jawa, masyarakat Jawa secara umum terbagi dalam tiga golongan yakni priyayi, santri, dan abangan. Golongan terbesar tentu saja abangan dan santri dalam masyarakat Jawa. Kedua golongan ini sebagai mainstream memiliki kebiasaan sebagai orang lazim mengenakan songkok atau kopyah. Terlebih yang dipengaruhi ormas agama Islam terbesar yang lebih lama hadir di Jawa, Nahdlatul Ulama. Kelompok ini memiliki sejarah perjuangan panjang dalam melawan penjajahan kolonial Belanda secara non-kooperatif, mandiri dan tidak memiliki hubungan dengan pemerintahan kolonial dan kuat memegang tradisi ulama terdahulu. Jaman dulu lebih bersifat tertutup terhadap pengaruh budaya Barat (baca: Belanda) dibanding kelompok ormas Islam yang muncul berikutnya, Muhammadiyah. Pada masa kolonial Belanda, jas adalah pakaian orang Belanda dan kaum terpelajar yang elit di jamannya. Bung Karno, mulai masa perjuangan sewaktu kuliah di Bandung mulai mengenakan kopyah yang dipadu dengan setelan jas. Beliau mengenakan kopyah yang menyiratkan bahwa Bung Karno adalah bagian dari masyararakat terbesar bangsa Indonesia, berjuang untuk mereka (rakyat). Bahwa meskipun kopyah adalah penduduk biasa/orang kebanyakan Indonesi namun bisa sejajar dengan orang Barat yang dianggap lebih superior. Kebiasaan Bung Karno mengenakan setelah jas dengan memakai songkok terbawa terus hingga beliau menjabat sebagai presiden. Walaupun ada stigma jelek dari penentang beliau di masa Orde Lama bahwa beliau mengenakan songkok untuk menutupi kepalanya yang mulai botak.
Tradisi Bung Karno yang mengenakan songkok dengan memakai setelan jas diikuti oleh pejabat lainnya hingga saat ini. Sayang mereka kini tidak tahu lagi kenapa mereka harus mengenakan songkok di atas kepalanya. Padahal songkoklah yang harus mereka utamakan dan layani ketika mereka menjabat. Songkoklah yang harus mereka sejajarkan dengan kemajuan dan kemakmuran negara-negara yang penduduknya memiliki setelan jas. Bukan sebaliknya, songkok cuma mereka pakai ketika dilantik lantas. Setelah menjabat songkok malah diinjak dan diperas. Jatah yang menjadi hak kaum songkok malah dikutip sosok berjas. Sungguh diputarbalikkan makna songkok di atas kepala sosok yang mengenakan setelan jas tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun