Terutama untuk kawasan timur Indonesia, maskapai penerbangan lebih banyak menggunakan pesawat turboprop karena sangat cocok dengan kondisi geografis dan karakter pasar. Setelah peristiwa aksiden pesawat Merpati jenis Xian M-60 pekan kemarin yang jatuh di daerah teluk Kaimana Papua Barat, turut bersedih dalam memori industri penerbangan nasional. Merpati sebagai maskapai penerbangan pelat merah tengah terseok-seok dalam himpitan persaingan bisnis penerbangan dalam negeri. Dalam tahun 2009 ada berita pengadaan 22 unit pesawat turboprop baru oleh Merpati di mana 7 unit di antaranya jenis ATR-72 dan 15 sisanya adalah adalah Xian M-60. Ternyata prediksi kondisi pangsa pasar penerbangan Indonesia yang diprakirakan pada era 90-an terjadi dengan benar menyusul bangkrutnya pabrik pesawat Fokker Belanda pada tahun 1996. Pada tahun 1995 N-250 diluncurkan oleh IPTN dengan harapan bisa diserap maskapai nasional untuk kelas pesawat komuter. Dengan ditutupnyan pabrik Fokker, pasar untuk N-250 terbuka seluas-luasnya karena hampir tidak ada pesawat sekelas Fokker F-50 yang diproduksi di pasaran. Namun sayang krisis ekonomi tahun 1997 mengubur peluang yang sangat menggiurkan ini. Seiring dengan pulihnya industri penerbangan, Merpati berusaha recovery dan mengalami perbaikan finansial dan bisnis. Maskapai tersebut berhasil mengecilkan porsi utang dari sekitar 24,88 juta dolar AS menjadi 4,8 juta dolar AS hingga Mei 2011. Pembayaran utang Merpati tersebut murni dari perolehan pendapatan Merpati, belum ada dana bantuan seperti Subsdiary Loan Agreement (SLA) dari pemerintah RI. Pada realisasi pengadaan pesawat baru, pada tahun 2010 Merpati memutuskan melakukan pembelian 15 pesawat baru dari pabrikan Tiongkok, Xian Aircraft Industrial Corporation dengan tipe pesawat MA-60. Pesawat MA-60 merupakan pesawat sekelas dengan ATR-72 dengan kapasitas seat 50-60 dan daya jelajah sekitar 1500 km. Pesawat kelas tersebut didominasi oleh kedua pesawat yang seharusnya direbut pangsa pasarnya oleh N-250. Tipe MA-60 banyak dibeli oleh negara-negara berkembang dan miskin karena harganya yang lebih terjangkau, seperti Indonesia, Filipina, Laos, Myanmar, Ghana, dan sebagainya.Tipe ATR-72 buatan Perancis lebih dominan di Eropa dan negara-negara yang lebih kuat finansialnya. Kualitas lebih terjamin karena berbagi sumberdaya dengan pabrik Airbus, pabrik pesawat konsorsium Eropa. Kedua pesawat memang sama-sama memiliki histori kecelakaan namun memang diakui MA-60 tidak memiliki sertifikasi FAA dari AS. Meski sertifikasi FAA bukan harga mati, bisa juga cukup sertifikasi dari biro lokal, tetapi sertifikasi FAA adalah paling terpercaya di dunia industri penerbangan. Bahkan CN-235 memiliki sertifikasi FAA, sayangnya pesawat tersebut memang kurang ekonomis/cocok untuk pengorasian yang dikehendaki Merpati. Di lain pihak pembelian MA-60 mengundang kecurigaan karena di masa pemerintahan wapres JK, beliau sempat menolak rencana pembelian. Kalau pun jadi skemanya harusnya cukup leasing bukan buying. MA-60 sendiri adalah produk baru yang belum memiliki track record sehingga keandalannya masih diragukan. Analisis lain menyebutkan pembelian MA-60 terkait dengan proyek listrik 10.000 MW yang didanai RRC sehingga di luar kertas mereka meminta konsesi penjualan produk MA-60.Ibarat penjualan CN-235 ke Malaysia di mana Indonesia harus impor sejumlah mobil Proton. Semoga Indonesia mampu menghidupkan lagi proyek N-250 sehingga kebutuhan pesawat tipe tersebut dapat dipenuhi oleh industri dalam negeri. Sejalan dengan revitaliasi industri strategis nasional yang sedang dijalankan pemerintahan SBY.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H