Monumen Palagan Sambi di Pangkalanbun
Pada umumnya, dibandingkan suku lain yang ada di Kalimantan, suku-suku Dayak memang lebih terbelakang taraf perekonomian dan pendidikan. Hal itu terkait dengan kualitas sumber daya manusianya yang memang cukup tertinggal di banding yang lain. Secara level nasional, memang belum banyak orang Dayak yang berkiprah, kecuali Tjilik Riuk. Yang banyak adalah orang Banjar. Misalnya Idham Khalik, Taufik Effendi, Syamsul Maarif, Hasan Basri, Gusti Muhammad Hasan, semuanya orang Banjar, serta Hamzah Haz dari Ketapang Kalimantan Barat.
Teras Narang, salah satu tokoh suku Dayak yang sudah berkiprah nasional yang juga gubernur Kalteng, menurutnya keterlambatan suku Dayak berkembang dikarenakan keterbelakangan mereka. Selama ini, semua konsentrasi pembangunan infrastruktur terkonsetrasi di Jawa. Tidak merata, terutama dalam hal pendidikan. Masa kecilnya dihabiskan di Banjar dan setelah itu dia sekolah ke Jawa. Perpektif suku Dayak terbelakang dalam scoop Kalimatan pun karena mereka berada di pedalaman. Dibandingkan daerah pesisir, yang umumnya didiami orang-orang Melayu dan Banjar, pembangunan dan keterjangkauan mereka dengan dunia luar cukup sulit. Terlambatnya pembangunan menjangkau hingga ke pedalaman, mengakibatkan mereka juga terlambat dalam inovasi perubahan dan kemajuan pembangunan. Geografis mereka yang susah membuat mereka lambat berinterkasi dengan dunia luar. Jadi, dari aspek sosiologis, suku Dayak rendah intensitas kontak sosialnya dengan orang luar dibandingkan suku-suku lain seperti Banjar ataupun Melayu yang tinggal di kawasan pesisir.
Pengentasan kemiskinan daerah pedalaman Kalimantan tidak bisa semata-mata dibebankan pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah karena sumber daya yang terbatas. Pemberdayaan komunitas lokal melalui program-program CRS (Corporate Social Responbility) harus terus digalakkan. Ada filsafat jangan sekedar memberi ikan tapi beri juga kailnya. Program CSR perusahaan baik tambang, perkebunan, dan kehutanan yang dominan di Kalimantan seyogyanya tidak lepas dari sektor peningkatan SDM lokal.
Tjilik Riwut
Akar sejarah perjuangan pengentasan kemiskinan pedalaman Kalimantan bisa dirunut dari kiprah gubernur pertama Kalimantan Tengah Tjilik Riwut.Beliau mewakili 142 suku Dayak bersumpah setia kepada Pemerintah RI secara adat di hadapan pemerintah pusat bertempat di Gedung Agung Yogyakarta pada 17 Desember 1946 disaksikan Presiden Soekarno, Wapres Moh. Hatta, dan Gubernur Kalimantan Ir. Pangeran Gusti Muhammad Noer. Mengatasnamankan sekitar 185 ribu rakyat dayak pedalaman yang terdiri dari 145 kepala kampung, 12 kepala adat, 4 kepala suku, 3 panglima, 10 patih, 2 tumenggung, dan 2 kepala burung. Dia selalu dengan bangga mengatakan dirinya sebagai 'orang hutan'. Di belantara hutan Kalimantan, tepatnya di wilayah Kasongan yang kini menjadi ibu kota Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, dia lahir dan diberi nama Tjilik Riwut.
Tak banyak nama-nama orang Dayak yang terkenal di kancah nasional. Namun, Tjilik Riwut adalah satu di antaranya. Jika pernah bertandang ke Kalimantan Tengah dan melalui jalur udara, bandar udara di Kota Palangkaraya, mengabadikan nama tokoh ini. Bandara yang dahulu namanya Bandara Panarung, kini menjadi Bandara Tjilik Riwut. Beberapa nama jalan, rumah sakit, juga museum di Kalimantan Tengah, mengabadikan nama tokoh ini. Siapa dia? Tjilik Riwut adalah Gubernur Kalimantan Tengah yang pertama. Ia lahir di Kasongan, sekarang masuk kabupaten Katingan Kalimantan Tengah, pada 2 Februari 1918. Dia tercatat sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia yang ditetapkan pada 1998. Lulus SR (Sekolah Rakjat) atau Volkschool pad atahun 1930 kemudian melanjutkan ke SeKolah Perawat Taman Dewasa di Jawalulus pada 1933. Beliauk meninggal dunia setelah menderita penyakit lever di RS Suaka Insan Banjarmasin pada 17 Agustus 1987 pukul 05.00 WITA dalam usia 69 tahun. Makamnya, kini bisa disaksikan di Taman Makam Pahlawan Sanaman Lampang, Palangkaraya.
Tjilik dikenal sebagai pencinta alam sejati yang sangat menjunjung tinggi budaya leluhurnya yakni suku Dayak Ngaju. Saat masih belia, Tjilik pernah tiga kali mengelilingi Pulau Kalimantan dengan berjalan kaki, naik perahu maupun rakit. Jejak langkah perjalanan dan perjuangannya, apalagi setelah bergabung di Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), telah melampaui batas-batas kesukuan. Boleh dibilang, Tjilik Riwut adalah orang Dayak yang langka di Pulau Jawa, saat dia memutuskan menuntut ilmu dan keluar dari Kalimantan.
Seusai sekolah perawat pada tahun 1933, beliau merantau ke kota Balikpapan. Di kota ini beliau aktif di dunia tulis menulis, mengikuti kursus wartawan pada tahun 1936 sampai lulus. Kemudian menjadi pemimpin redaksi majalah Pakat Dayak. Pada saat yang sama selama 1940-1941 beliau juga bekerja sebagai koresponden Harian Pembangunan yang dipimpin Sanusi Pane dan Harian Pemandangan yang dipimpin M. Tabrani. Dari dunia jurnalisme ini Tjilik Riwut menyebarkan pemikiran beliau dan meluaskan informasi pergerakan nasional di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Setelah Jepang mendarat di Balikpapan pada 1942, beliau diangkat menjadi intelijen militer Jepang. Pada posisi ini beliau mendapat akses untuk menghimpun semua informasi seputar keadaan Kalimantan dan leluasa menjalin komunikasi dengan berbagai suku di Kalimantan dalam rangka perjuangan kemerdekaan Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1945 Tjilik Riwut dipercaya sebagai Perwakilan Dewan Pimpinan Penyelenggaraan Ekspedisi ke Borneo di Yogyakarta. Pada 1946 beliau diangkat sebagai Pimpinan Rombongan II Ututsan Pemerintahan RI Yogyakarta ke Kalimantan. Beliau selanjutkan turut berkarier sebagi prajurit militer antara 1946-1954. Tjilik Riwut menjadi komandan MN (Mobiele Brigade) 101 sampai berpangkat mayor. Diterjunkan ke pedalaman Kalimantan, desa Sambi, sebagai pemimpin operasi penerjunan pasukan payung pertama dalam sejarah TNI-AU pada 17 Oktober 1947. Dalam misi Pemerintahan RI di Kalimantan, Tjilik tidak terjun langsung. Mereka yang terjun adalah nama-nama seperti Harry Aryadi Sumantri, Sersan Mayor Kosasih, Imanuel, Mika Amirudin, Ali Akbar, JH Darius, dan Marawi. Peristiwa 17 Oktober selanjutnya diperingati sebagai hari Kopasgat (Korps Pasukan Gerak Cepat) yang sekarang bernama Paskhas TNI-AU berdasar Keputusan Men/Pangau No.54 Tahun 1967 tanggal 12 Oktober 1967. Operasi ini digagas oleh Gubernur Kalimantan Ir. Muhammad Noer dan KASAU Suryadharma dengan misi membuka radio komunikasi, menyiapkan DZ (droppping zone), dan mengkoordinasikan perjuangan kemerdekaan di pedalaman Kalimantan. Beliau terakhir mempunyai pangkat Marsekal Pertama Kehormatan . Pada tahun 1978 dibuat monumen mengenang peristiwa ini di kota Pangkalanbun kabupaten Kotawaringin Barat.
Peresmian Moumen Palagan Sambi Dihadiri Tjilik Riwut (No.4 dari kiri)
Kurun waktu 1950-1959, Tjilik Riwut aktif di bidang pemerintahan. Wedana Sampit pada 1950, Bupati Kotawaringin Timur 1950-1951, Bupati Kepala Daerah Swantara TK II Kotawaringin Timur 1951-1956, Residen pada Kantor Persiapan Daerah Swantara TK I Kalimantan Tengah di Banjarmasin 1957, residen DPB Pemerintahan Swantara Tk. I Kalimantan Tengah 1958, Pemangku Jabatan Gubernur Kepala Daerah Swantara Tingkat I Kalimnatan Tengah 1958-1959, Anggota Dewan Nasional RI 1957-1959, dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi kalimantan Tengah pertama 1959-1967. Beliau meninggalkan sejumlah buku hasil tulisan karyanya sendiri. Beliau berperan besar dalam membuka hutan di desa Pahandut untuk menjadi ibukota provinsi, Palangkaraya, pada 1957. Beliau terjun langsung dalam memimpin pembukaan lahan bahkan menyumbangkan harta pribadi termasuk beras yang harusnya jatah keluarganya. Bahkan koleganya Syarkawi, gubernur Kalimantan Selatan, terkejut mendengar kabar Tjilik Riwut kehabisan beras dan memerintahkan pengiriman bantuan beras ke sana. Pada saat merintis pembangunan Palangka Raya ini beliau mengungkapkan cita-cita kelak ingin membuat bandar udara kelas internasional dan belai akan menamakannya lapangan terbang Panarung. Kelak lapangan terbang yang kemudian dibangun tersebut diberi nama Tjilik Riwut untuk menghormati jasa-jasanya.
Ir. Soekarno pada saat pembangunan Palangka Raya, 17 Juli 1957