Mohon tunggu...
Cak Idur
Cak Idur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Hobi membaca dan menulis. Tertarik dengan ICT, pertahanan, teknik, dan sosio-ekonomi.. Ngeblog juga di www.cakidur.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Dominasi Israel dan Pembelian Skuadron UAV Indonesia

26 Mei 2011   17:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:10 1922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Perkembangan teknologi persenjataan perang mengantar manusia ke periode piranti tempur tanpa awak yang dikendalikan dari jarak jauh. Dalam perang Irak, Afganistan, dan Libya peran pesawat nirawak atau UAV (unmanned aerial vehicle) semakin mengemuka dalam praktis pertempuran di lapangan. Dahulu pesawat nirawak cuma dominan pada peran IRS (inteligence, reconnaissance, and surveillance) namun kini sudah merambah ke peran tempur sesungguhnya dengan kemampuan meluncurkan misil udara-darat. Teknologi pesawat nirawak masih didominasi Amerika Serikat dan Israel. Namun negara-negara lain di dunia dengan cepat berusaha mengikuti perubahan ini. Indonesia merasakan manfaat pesawat nirawak pertama kali pada saat operasi pembebasan sandera di Mapeduma Papua pada tahun 1995. Saat itu Kopassus mengoperasikan pesawat nirawak dengan peran IRS untuk memantau pergerakan kelompok Kelik Kwalik yang menyandra tim ekspediri Lorenz. beberapa institusi juga berusaha mengembangkan prototipe UAV dengan beberapa variasi teknologi madya yang lebih sederhana. BPPT memiliki roadmap pengeambangan pesawat nirawak pelatuk, gagak, dan wulung. PT. Dirgantara Indonesia mengembangkan PTTA (pesawat terbang tanpa awak) dengan prototipe UAV-530. PT. Aviator Indonesia bekerja sama dengan Irkut corp. mengemabangkan SmartEagle II dan UAV-IRKUT 10. Lapan dan UAVindo mengembangkan CR-10. Ada juga beberapa perguruan tinggi seperti ITB dan ITS yang merintis penelitian AUV. Namun semua rekayasa UAV lokal sangat terbatas daya jelajah dan pengindraannya.

Pertengahan tahun 2006, tujuh perwira menengah (Pamen) TNI pernah dikhabarkan berkunjung ke produsen pesawat UAV, Israel Aircraft Industry (IAI) di Haifa-Israel. Kemudian pada 22 Oktober 2006 salah satu media di Israel, The Jerussalem Post, mengabarkan bahwa militer Indonesia tertarik membeli salah satu produk UAV buatan IAI. Keputusan tersebut diambil setelah Pamen TNI melihat secara langsung kemampuan dan kehandalan beberapa UAV buatan IAI saat beroperasi siang maupun malam. Setelah melakukan penilaian dan diskusi panjang dengan pihak produsen, TNI memilih UAV dari jenis Searcher MK-II untuk Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS). Untuk rencana ini, TNI mengajukan dana sebesar 6 juta dollar AS pada anggaran APBN tahun 2007 untuk paket pembelian UAV, sparepart dan pelatihan awak. Pembelian UAV ini sempat disamarkan dengan memanipulasi pembelian sarana pendukung alutsista TNI dari perusahaan di Filipina, padahal barang tersebut berupa UAV dari Israel.Manipulasi ini berujung ditolaknya rencana pembelian UAV tersebut dari Israel setelah diketahui sejumlah anggota parlemen di Senayan. Pada dasarnya penetapan penyedia pengadaan UAV sudah tertuang dalam Surat Keputusan Dephan Nomor SKEP/723/M/IX/2006. Surat tersebut dikeluarkan 21 September 2006 dan ditandatangani Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono. Menhan Juwono Sudarsono saat itu mengungkapkan, pengadaan UAV oleh Indonesia dari dari Israel adalah langkah realistik mengingat alat serupa yang dibuat di dalam negeri memiliki teknologi yang dibutuhkan oleh BAIS. Rencana pembelian akhirnya marak diberitakan oleh pers di Indonesia, kontan saja banyak masyarakat terutama kaum muslim di tanah air yang tidak setuju dengan pembelian alutsista asal Israel, ujung-ujungnya banyak aksi demo dilakukan di depan kedubes AS. Israel dianggap sebagai negara penjajah karena tindakannya menindas dan melanggar HAM di Palestina.

Rencana pembentukan skuadron UAV akhirnya dimatangkan kembali pada tahun 2011 dengan basis lanud Supadio Pontianak. Dari wacana yang dimuat di media massa, jenis pesawat yang hendak dibeli sama dengan rencana tahun 2007 yaitu Searcher MK-II dengan bobot setengah ton berkemampuan terbang hingga 6100 meter dan daya tahan 18 jam. Memang harus diakui produk UAV Israel saat ini masih mendominasi secara internasional. Namun pembelian tersebut juga harus diwaspadai terhadap konsesi apa yang diminta Israel terhadap Indonesia karena hal tersebut merupakan sesuatu yang lumrah dalam jual-beli persenjataan strategis.

Singapura pun sudah memakai Searcher II sejak tahun 2004 dan sekarang sedang menggantinya dengan Heron dengan kemampuan yang lebih bagus juga produk IAI Israel. Bahkan dengan bantuan teknologi Israel, Singapura mengembangkan pesawat UAV sendiri untuk kelas short range. Rusia pun telah membuat kesepakatan dengan Israel untuk melisensi produksi UAV di dalam negeri Rusia karena memang jauh tertinggal dalam teknologi UAV. Rusia merasakan betul dampak dari penggunaan UAV dalam perang di Kaukasus melawan Georgia. Dalam perang5 hari tersebut Georgia yang memakai UAV Israel mampu memberikan perlawanan sengit dalam pertempuran penguasaan ibukota Ossetia Selatan. Armada lapis baja Rusia yang kurang mendapat pasokan data IRS karena tidak memiliki unit UAV mengalami kerugian hebat dalam sebuah penyergapan pasukan Georgia di mana barisan 30 unit kendaraan lapis baja pasukan Rusia Divisi Ke-58 yang memuat Jendral Anatoly Khrulyov , 25 diantaranya hancur dan hanya 5 yang selamat sementara Jenderal Khrulyov cedera di kaki.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun