Sebagaimana telah dimuat di media massa mengutip pernyataan Komandan Korps Marinir tentang pembelian arhanud baru di mana Korps Marinir TNI AL akan menambah tujuh perangkat senjata anti serangan udara baru pada tahun ini. Persenjataan seharga total US$ 15 juta atau Rp 135 miliar itu sebagian bakal dipasang di sekeliling Istana Negara, Jakarta, untuk pengamanan serangan dari udara. Senjata dirakit dan akan dikirim pada akhir tahun ini.
Senjata berupa kendaraan tempur yang dilengkapi meriam kaliber 35 milimeter ini dibeli dari Swiss, namun perakitannya dilakukan oleh perusahaan di Cina. Selain untuk antiserangan udara, senjata ini juga bisa dipergunakan untuk serangan darat. Sebagian senjata akan ditempatkan di Markas Korps Marinir di Kwitang dan Markas Brigadir Infanteri Marinir di Cilandak, Jakarta Selatan. Semua senjata ini dibeli untuk melengkapi kebutuhan Batalion Artileri Pertahanan Udara Marinir guna mengganti peralatan lama yang sudah tua.
Sebuah pernyataan yang susah diinterpretasikan karena kalimat-kalimatnya tidak jelas dan bias khas informasi pejabat militer yang menyembunyikan spek dalam khazanah intelijen. Sudah mahfum bahwa senjata pertahanan serangan udara kaliber 35 mm yang berasal dari perusahaan senjata Swiss adalah Oerlikon 35 mm twin canon.
Dulu pabrik senjata tersebut dimilkiki olehOerlikon Contraves AG. Pada tahun 2009 perusahaan tersebut merger dengan Rheinmetall AG dan menjadi unitnya dengan nama baru Rheinmetall Air Defense AG. Produk system senjata PSU berupa Skyshield (meriam PSU untuk perlindungan obyek statis), Skyguard (meriam PSU mobile), Skyranger (kombinasi meriam PSU dan SHORAD di atas platform ranpur), dan Skyarcher (produk standalone platform mobile dengan SHORAD). Ada juga produk yang navalized (platform kapal).
Sekarang kita analisa informasi “senjata berupa kendaraan tempur dilengkapi meriam kaliber 35mm”. Kendaraan tempur atau ranpur mengacu pada platform kendaraan yang mampu bergerak sendiri dalam misi tempur. Salah satu ranpur yang memuat system Oerlikon 35 mm adalah Gepard buatan Rheinmetall dengan platorm tank Leopard. Tapi kayaknya tidak mungkin dengan anggaran minim Indonesia mendapat self propelled Oerlikon 35 mm twin canon ataupun Skyshield karena paltform tersebut tidak mobile, kurang cocok dengan jumlah yang terbatas harusnya bisa dipindah-pindah sesuai dengan kebutuhan strategi.
Kemungkinan besar adalah jenis towed dalam produk system skyguard. Informasi yang rancu juga “jumlah yang dibeli tujuh perangkat”. Apakah maksudnya tujuh batere di mana tiap batere terdiri dari unit radar dengan beberapa unit twin canon atau cuma 7 unit twin canon saja.
Terus informasi yanfg membingungkan juga “senjata buatan Swiss tapi dirakit perusahaan Cina. Senjata tersebut produk Cina atau Swiss? Mengingat RRC juga memiliki lisesnsi copy Oerlikon 35 mm twin canon seri GDF002 yaitu Type-90. Tentu harga produksi RRC lebih murah daripada asli produksi Rheinmetall. Tapi keandalan Type-90 belum ada kabarnya di medan perang. Beda dengan Oerlikon 35 mm twin canon Skyguard dengan Oerlikon GDF-002 yang pernah dipakai pasukan Argentina mampu menembak jatuh beberapa Sea Harier AL Inggris dalam perang Malvinas. Bahkan Skyguard yang berhasil direbut oleh AL Inggris akhirnya dipakai Inggris karena keandalannya.
Masalah lain seputar berita rencana pembelian ini bukan informasi baru karena Paskhas TNI-AU pada tahun 2009 juga berencana membeli Oerlikon Contraves 35 mm tetapi hingga sekarang tidak jelas kepastiannya sudah datang ataukah sudah operasional. Sedangkan, Malaysia dan Singapura sudah mengoperasikan puluhan Oerlikon Contraves 35 mm twin canon GDF-002/003.
Mudah-mudahan rencana kali ini berhasil direalisasikan supaya memastikan meram PSU tua seperti Hispano Suiza triple gun maupun S-60 57mm bisa pensiun dengan tenang. Lebih-lebih jika model yang dibeli Indonesia bisa memiliki karakter CIWS untuk menahan serangan rudal udara ke darat supersonik. Sebab sekarang bukan jamannya lagi musuh langsung menyerang dengan pesawat close air support melainkan menghancurkan dulu basis-basis pertahanan udara dengan senjata BVR (beyond visual range) yang tidak mungkin pesawat peluncurnya mampu diatasi/dideteksi senjata-senjata canon PSU maupun misil SHORAD (short range air defense).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H