Mohon tunggu...
Abdul Hamied
Abdul Hamied Mohon Tunggu... -

Lahir di Sumenep, 17 Mei 1978. Pendidikan terakhir S2 Magister Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa Menolak Kenaikan BBM?

23 November 2014   18:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:03 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Akhirnya Jokowi menjilat ludahnya sendiri utk tidak mencabut atau mengurangi subsidi BBM, tanpa ragu ia menaikkan harga bensin dari 6500 menjadi 8500, solar dr 5500 menjadi 7500. Kebijakan ini ditolak secara massif oleh buruh, mahasiswa dan kaum terpelajar lainnya. Tapi tak sedikit yang mendukung, terutama pendukung fanatik Jokowi.
Pendukung Jokowo melakukan kampanye melalui broadcast  di media sosial dengan bentuk yang beraneka ragam, termasuk membandingkan kenaikan bensin 2000 dengan konsumi rokok, pulsa gadget, dan lain-lain. Logika diatas seolah-olah benar, tapi faktanya keliru total.
Saya dari dulu termasuk orang yaag menolak kenaikan harga BBM, bukan karena saya terancam tak bisa me
membeli bensin sendiri tapi smata-matabkarna rakyat kita yang secara ekonomi belum siap.
Buat Jokowi dan para pendukung kenaikan BBM, penjelasan berikut ini saya buat semoga anda tak buta nuraninya. Untuk itu sy akan jelaskan panjang lebar mengapa sy dr dulu sampai skrg sy menolak pencabutan subsidi BBM.
Pertama; negara kita beda dg Malaysia atau negara lain yang berencana mencabut subsidi BBM, mereka tdk punya ladang minyak tapi kita punya. Masa kita punya ladang cabe harua membeki semahal org yg tak punya ladang? itu ada yg salah...tugas anda, sy dan org cerdas lainnya hrs memikirkan itu.
Kedua, salah fatal kalau pinter membaca kenaikan bbm dr 6500 ke 8500 itu hanya di lihat dari besaran angka 2000 perak. Itu permainan psikologi marketing biar tak terkesan banyak. Pdhl faktanya kenaikannya sebesar 32.5%.
Ketiga, sangat bodoh sekali kalau melihat kenaikan BBM 2000 (32.5%) hanya dipandang sebagai kenaikan biaya beli bensin kendaraan kita. Yang harus l di disadari, kenaikan bbm 32.5% akan diikut oleh kenaikan biaya hidup minimal 20%. Karena otomatis biaya produksi dan transportasi akan naik di kisaran itu. Kalau dapur anda sebelumnya sebulan cukup dengan 5jt, maka dg naiknya bbm akan naik sekitar 6.5jt/bulan. (Itu kalau hitung2an ekomoni menengah bawah atua menengah seperti para pendukung kenaikan bbm, bagaimana dg buruh dan petani?)
Pendapatan buruh nasional sekarang rata2 dikisaran 2jt/bulan, bahkan masih banyak yg pendapatannya dibawah 1jt/bulan. Hidup mereka pas2an bahkan banyak yg tak cukup. Bayangin jika beban hidup mereka ditambah 30%?. Sekali lagi naiknya bensin 32.5% jangan hanya dibayangin biaya bensin motor pak tani akan naik 2000perak apalagi dibandingkan dengan pulsa atau harga rokok...itu sangat bodoh sekali.
Naiknya bbm 2000 akan berimbas kepada naiknya harga bibit dan pupuk, akan berimbas juga pada harga solar para nelayan. Secara otomatis akan menaikkan cost produksi, otomatis menaikkan harga jual? (enak ya kalau pernyataan ini berhenti di sini; harga jual petani naik...harga beras dan kedele hrs naik, harga tebu/gula lokal harus mahal, harga ikan harus juga naik???) tapi yang harua anda sadari, Indonesia skrg d kepung oleh import, apalagi menjelang MEA. Org akan memilih mana, beras Cianjur 13ribu, sementara harga di beras Tailand 9ribu? begitu juga dengan kedele, ketela, gula, ikan dsb. Trus petani bagaimana? nelayan bagaimana? suruh mati saja? mending beliin obat tikus aja sekalian ya?
Dengan bertahannya subsidi BBM, ini juga sekaligus menyelamatkan BUMN kita yang sebagian sudah dijual-jualin dan Pertamina sampai sekarang masih bisa bertahan dari gempuran perusahaan asing yang berbisnis BBM. Perusahan asing yg jualan bbm dalam negeri otomatis gulung tikar seperti petronas, Shell, Total dll. Tapi dengan pencabutan ini, maka perusahaan asing itu menjadi leluasa perjualan. Kl harganya sama atau beda tipis, kira2 orang akan membeli bbm mana? Membeli bensin dari pom bensin Pertamina dengan kadar oktan yg besar atau membeli di Shell yg kadar oktannya rendah dan bagus utk mesin??? trus nanti jika Perrtamina kolaps ditinggal pembeli kita bubarin aja?
come on, be smart dan buka hati nuraninya. Jangan mikirin udhel sendiri tapi coba pikirin rakyat, sanak sodara kita di kampung.
Ini bukan bicara dukung mndukung capres, itu sudah selesai.
Coba sekarang kita desak PDIP yg dulu berbusa-busa menolak kenaikan BBM jaman SBY, saatnya anda mengimplementaskan ide dan gagasannya.
Bagi saya, kalau Jokowi berhasil membalikkan keadaan, dimana warga Malaysia yang menjadi PRT, buruh dan babu di Indonesia maka boleh dan syah jika subsidi BBM dicabut total. Krn faktanya skrg kita jauh dr Malaysia, Singapure dan lain-lain.
***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun