Pagi ini, kawan saya seorang jurnalis senior, berkisah pada saya tentang sebagian pengalamannya melakukan wawancara 'cegat narasumber' atau lazim diistilahkan sebagai wawancara doorstop---sebagian media arus utama mengistilahkan doorstep---selama hampir dua puluh tahun kawan saya ini berkarir sebagai jurnalis.
Adapun di kalangan awak media, wawancara doorstop lazim dilakukan untuk mengajukan pertanyaan di luar sesi jumpa pers, untuk menggali informasi yang biasanya tidak disampaikan oleh narasumber dalam sesi jumpa pers.
Kelebihan lain dalam wawancara doorstop adalah adanya kemungkinan sang narasumbeer menyiapkan jawaban spontan apabila ada wartawan yang ingin bertanya tentang hal-hal di luar informasi yang ingin disampaikan pada saat jumpa pers. Jawaban spontan ini pun berpotensi menjadi sumber pemberitaan.
Saya ambil contoh pada 30 Agustus 2024, sejumlah pewarta melakukan doorstop kepada Presiden Joko Widodo usai acara peresmian Gedung Pelayanan Respirasi Ibu dan Anak RS Persahabatan Jakarta Timur. Namun yang terjadi adalah para juru warta juga bertanya soal rencana Pemerintah memberlakukan subsidi terhadap tarif KRL Jabodetabek dengan mengacu pada Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Karena pertanyaan tersebut di luar konteks acara pada hari itu, maka jawaban Jokowi atas pertanyaan tersebut pun juga (mungkin) di luar dugaan banyak pihak.
"Saya nggak tahu. Karena belum ada rapat mengenai itu. Belum tahu. Saya belum tahu nantinya masalah di lapangan seperti apa," ujar mantan gubernur DKI Jakarta itu. (Sumber: KOMPAS TV)
Dari sisi jawaban, memang tidak ada yang salah dengan jawaban Jokowi. Tentunya karena rencana subsidi berbasis NIK itu baru akan dilaksanakan pada 2025. Itu artinya yang menjabat presiden di negeri ini bukan lagi Jokowi, melainkan Presiden Terpilih 2024-2029 Jenderal (Purn) Prabowo Subianto.
Namun mungkin sebagian pihak menilai jawaban tersebut menunjukkan Jokowi 'menghindar' dari pertanyaan terkait rencana  kebijakan Pemerintah yang ramai diperbincangkan di masyarakat. Apalagi kebijakan yang ditanyakan tersebut adalah kebijakan yang nantinya---jika jadi dilaksanakan---berpotensi menambah beban kalangan kelas menengah yang selama ini menjadi mayoritas pengguna KRL Jabodetabek.
Tapi soal pembatasan subsidi berdasarkan NIK ini mungkin kita bahas lebih lanjut di tulisan lain saja.
Kembali ke soal wawancara doorstop, kawan saya bercerita pelbagai pengalamannya sebagai jurnalis dalam melakukan wawancara doorstop baik dengan pejabat publik maupun direksi perusahaan publik.
Dari pengalamannya---dan pengalaman saya--selama terjun meliput di lokasi wawncara lapangan, sistem wawancara cegat narsum memang agak 'ngeri-ngeri sedap', baik bagi narasumber maupun jurnalis yang mewawancara.