Bagi narasumber, nyaris tak ada ruang pengkondisian untuk jawaban yang ideal atau bahkan tidak bisa menjawab sesuai dengan yang diinginkan sang jurnalis sebagai corong publik.
Karena itu, jawaban "Tidak tahu" dari narasumber sekelas presiden saat ditanya soal sebuah kebijakan (yang baru) sesungguhnya bukanlah hal yang aneh. Namanya juga jawaban spontan. Mungkin situasinya akan berbeda jika Jokowi ditanya soal kebijakan subsidi KRL itu dalam sebuah forum atau sesi konferensi pers bersama menteri perhubungan dan menteri keuangan selaku pejabat yang terkait.
Jawaban "Tidak tahu" itu pun nyatanya ramai dijadikan bahan pemberitaan oleh sejumlah media arus utama, khususnya yang berdomain media online. Jawaban Jokowi yang tidak tahu menahu soal subsidi KRL berbasis NIK sangat 'seksi' untuk dijadikan judul berita yang menarik jumlah peminat baca, sehingga akan ditransmisikan menjadi pendapatan untuk media yang bersangkutan.
Namun, tidak semua narasumber, termasuk pejabat publik menyukai wawancara model doorstop. Pejabat model ini biasanya kerap menghindari wawancara sistem cegat karena ingin membudayakan jurnalis harus mendapat informasi melalui 'satu pintu' yakni melalui jumpa pers.
Sehingga, segala informasi yang penting dari lembaganya akan disampaikan dengan cara yang normatif alih-alih berasal dari dari jawaban spontan sang pimpinan lembaga.
Karena berisiko tinggi terutama untuk kredibilitas lembaganya, banyak pejabat yang menghindari doorstop atau kerumuman wartawan. Dari pengalaman saya dan kawan-kawan jurnalis ketika masih kerap melakukan doorstop di kementerian/lembaga, ada macam-macam cara pejabat yang tidak siap untuk melakukan wawancara doorstop.
Ada yang tetap berada di ruangannya sampai para wartawan sudah pada pulang. Ada pejabat yang mengkondisikan agar jalur yang akan dilewati 'bersih' atau jauh dari wartawan yang berkumpul. Untuk tipikal seperti ini, biasanya ada tim pegawai yang lebih dahulu menyisir rute yang dilintasi si pejabat 'aman' untuk dilintasi sampai dengan naik kendaraan dinasnya.
Ada yang keluar lewat pintu belakang atau jalur khusus pimpinan lembaga yang biasanya digunakan dalam keadaan darurat. Ada pula yang tetap melewati wartawan yang telah menanti, namun menunjukkan gestur seolah-olah terburu-buru untuk pulanhg dan para staf lembaga ikut mengadang atau mengatakan atasannya sedang tidak bersedia diwawancara.
Kawan saya pun berkisah pernah ketika meliput di sebuah lembaga, lantas ia dan kawan-kawan media lainnya 'dicegah' oleh staf humas lembaga itu agar tidak mendekat ke pimpinannya. Caranya dengan diajak makan dan minum dengan alasan agar santai dulu sebelum melakukan doorstop.
Tapi saat wartawan sudah mulai gelisah karena belum juga dipersilakan untuk menemui sang pimpinan instansi, si staf humas yang mengajak wartawan kemudian seolah-olah menerima telepon dari koleganya yang mengatakan 'bapak' (istilah antar staf instansi untuk menyebut pimpinan mereka) mendadak sudah ditunggu di lokasi lain dan tidak bisa melayani doorstop. Â Â Â
Kawan saya yang lainnya pun mengingat pengalamannya tahun 2023 silam. Tepatnya pada 16 Oktober 2023 saat wartawan tidak diberikan akses untuk melakukan wawancara doorstop dengan Jokowi saat berada di Bandara Soekarno-Hatta ketika akan berangkat melakukan kunjungan kerja ke luar negeri.