Memang ngefek ya ini?;
Dikirim ke Gaza saja, siapa tahu suara mereka bisa didengar;
Yang hadir pasti karena mau nasi bungkus gratis;
Yuks terbang ke sana (Gaza) buat ngangkat ngangkat reruntuhan.
Dan masih banyak lagi...
Mengapa komentar-komentar negatif atas tindakan orang lain seperti itu lazim kita temui di media sosial?
Adanya fenomena komentar negatif itu tak lepas dari fungsi media sosial sebagai identitas personal baru bagi pemilik akun. Atau bisa dikatakan sebagai identitas atau gambaran diri dalam versi digital.
Dari fungsi sebagai identitas inilah muncul perbandingan sosial, yang dinyatakan oleh Leon Festinger sebagai kebutuhan untuk menilai diri sendiri. Pemenuhan atas kebutuhan ini pun dilakukan dengan membandingkan antara diri sendiri dan orang lain, di mana terdapat kecenderungan bahwa diri sendiri lebih baik daripada orang lain di media sosial.
Komentar negatif, atau bahkan yang biasa diistilahkan sebagai 'nyinyir', sesungguhnya merupakan wujud konsekuensi negatif dari perbandingan sosial di media sosial. Sementara media sosial saat ini seolah sudah menjelma menjadi sebuah 'kebutuhan pokok' di era digital.
Dan dengan fenomena tersebut, tentu bukan hal yang aneh jika tiap hari, kita banyak menemukan komentar-komentar negatif atas unggahan di media sosial. Termasuk komentar negatif berbungkus pertanyaan terhadap identitas diri orang lain. Seperti dalam kasus yang dialami oleh kawan saya Wiwi, yang saya ceritakan di atas.
Baiklah. Perbandingan sosial di media sosial ini sepertinya akan kian masif, hingga mendekati Pemilu 2024. Karena drama-drama perbandingan itu sudah mulai dimainkan saat ini.