BRIN) bernama Andi Pangerang Hasanuddin di kolom komentar unggahan Facebook.
Di tengah perbedaan hari perayaan Idul Fitri 1444 di kalangan masyarakat Indonesia, jagad media sosial dihebohkan dengan pernyataan bernada ancaman kepada kalangan yang merayakan Hari Raya Idul Ftri tahun ini berbeda dengan pemerintah. Unggahan ancaman itu diduga berasal dari salah seorang anggota Badan Riset dan Inovasi Nasional (Dalam komentar tersebut, Andi menggunakan istilah 'darah halal' dan menyatakan Muhammadiyah telah disusupi organisasi Islam asing. Tak hanya itu, Andi juga memperisilakan jika ada yang ingin melaporkan komentar tersebut dengan ancaman pasal pembunuhan, dan ia pun siap dipenjara.
Namun dalam perkembangannya, Andi dalam surat terbukanya sudah menyatakan permintaan maafnya. Seperti dikutip sejumlah media, dalam surat tersebut Andi mengungkapkan pemicu ia mengunggah komentar pengancaman---yang menggunakan frasa 'darah halal' tersebut karena dirinya emosi, dan Andi juga mengaku telah bersikap tak bijaksana.
Ia mengaku terpicu emosinya akibat membaca unggahan koleganya di BRIN, Thomas Djamaluddin diserang oleh salah satu komentar, sehingga ia membalas komentar yang menyerang Thomas tersebut dengan komentar yang kemudian menjadi viral di dunia maya.
Thomas saat dikonfirmasi sejumlah media membenarkan bahwa unggahan komentar kontroversial memang berasal dari Andi. Ia mengaku telah meghubungi Andi setelah komentar tersebut viral di medsos, dan Andi mengaku telah menyesali komentarnya dan meminta maaf dalam surat terbuka.
Thomas seperti dikutip Tempo.co, mengatakan kehebohan unggahan bernada ancaman pembunuhan tersebut, justru bermula dari unggahan Thomas sendiri, yang mengutip Surat An-Nisa Ayat 59 dan Fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004.
Surat An-Nisa menyebut perintah menaati Allah, Rasul, dan Ulil Amri. Adapun Fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004 merupakan fatwa tentang penetapan Ramadan, Syawal, serta bulan Dzulhijjah. Thomas mengatakan unggahan Facebook-nya itu lantas dikomentari oleh sejumlah pengguna, termasuk salah satu pengguna dengan nama Ahmad Fauzan.
Komentar dari Ahmad Fauzan inilah yang menurut Thomas diduga menyulut emosi dari Andi. Namun saat Thomas meminta Andi menunjukkan komentar dari Ahmad Fauzan tersebut, ternyata sudah tidak ada, dan Andi mengaku tak sempat melakukan screenshot komentar yang membuatnya terpancing dan membalas dengan komentar yang kemudian viral.
BRIN sendiri baru akan menggelar sidang etik terkait hal ini pada Rabu 26 April 2023.
Kontroversi di medsos inipun berlanjut ke ranah hukum. Senin kemarin, salah seorang warga bernama Abdul Wahid yang menyatakan mewakili Muhammadiyah, melaporkan Andi Hasanuddin atas tindak ujaran kebencian dan pembunuhan melalui media sosial Facebook. Wahid membuat laporan ke SPKT Polres Jombang dengan nomor STTLPM/68/IV/2023/SPKT/Polres Jombang/Polda Jatim.
"Atas postingan dari akun Facebook 'AP Hasanuddin' menyebabkan kegaduhan masyarakat terutama pada organisasi Muhammadiyah sehingga melaporkan kejadian tersebut ke Polres Jombang guna penyelidikan lebih lanjut,"Â
demikian keterangan dalam laporan kepada pihak kepolisian yang diteken Abdul Wahid.
Keributan ini lantas mengingatkan saya pada saat pelajaran sejarah di sekolah dahulu. Salah satu penjelasan yang saya ingat dari bapak guru sejarah yakni tentang runtuhnya Kerajaan Majapahit akibat Perang Paregreg.
Perang ini bermula dari wafatnya Mahapatih Gadjah Mada dan kemudian Raja Hayam Wuruk, yang menandai berakhirnya kejayaan Kerajaan Majapahit. Usai wafatnya duet petinggi paling tersohor itu, perang saudara antar kerajaan-kerajaan kecil di bawah Majapahit pun terjadi, dan menjadi awal kehancuran kerajaan yang pernah menguasai hampir seluruh bagian yang kini bernama Indonesia ini.
Kehancuran akibat perang saudara tak hanya dialami Kerajaan Majapahit. Perang saudara antar saudara sepupu yakni Sunan Prawoto dan Aria Penangsang, menjadi penyebab runtuhnya Kerajaan Demak.
Kerajaan Banten pun hancur akibat perang sosok sedarah. Sultan Haji berupaya merebut kekuasaan dari tangan ayahnya sendiri, yakni Sultan Ageng Tirtayasa. Pemerintah kolonial pun ikut memancing ikan di air keruh dalam peperangan ini dengan memberikan dukungan pada Sultan Haji, sehingga Sultan Ageng terpaksa tersingkir dari istananya.
"Nah, inilah salah satu penyebab yang dilihat oleh penjajah untuk memberlakukan politik devide et impera, politik adu domba. Karena pada dasarnya, orang Indonesia saat itu suka sibut sendiri, antar saudara. Sehingga dimanfaatkan untuk diadu domba," ujar guru sejarah saya saat itu.
Dan ketika saya menyaksikan teman-teman saya satu sekolah diserang oleh pelajar dari sekolah lain, barulah saya sepenuhnya sadar apa yang dikatakan oleh guru sejarah saya dahulu soal perang saudara.
Bedanya, pada zaman kerajaan belum ada media sosial.
Dewasa ini, media sosial bisa membantu menyelesaikan permasalahan, namun di sisi lain media sosial bisa juga menjadi sumber permasalahan. Media sosial pun bisa menjadi sumber keributan antar saudara, dan banyak pula kasus tawuran yang berawal dari unggahan dan provokasi di media sosial.
Lalu saat ini, Polri sudah membentuk polisi virtual alias Virtual Police, untuk membendung unggahan-unggahan yang tak bijak dan berpotensi merusak persatuan serta kesatuan bangsa di media sosial. Upaya itu bertujuan memonitor, mengedukasi, memberi peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana karena tak bijak bermedia sosial.
Dengan sudah adanya Virtual Police tersebut, maka kata-kata bernada kebencian dan ancaman yang diunggah oleh Andi Pangerang Hasanuddin tersebut, akan sulit lolos dari jeratan hukum. Meskipun kita masih belum tahu bagaimana tindakan polisi selanjutnya terhadap anggota BRIN tersebut.
Dan karena polisi belum menetapkan status Andi Pangerang Hasanuddin, saya pun tak ingin berandai-andai bagaimana langkah hukumnya kemudian, termasuk apakah akan ada restorative justice yang mempertemukan pihak BRIN dengan Muhammadiyah sebagai pihak-pihak yang terkait dalam kasus ini.
Yang jelas, saya berharap sekaligus bercermin, agar kita dan para pejabat publik lebih bijak dalam bermedia sosial. Sebisa mungkin kita menekan dan menahan, supaya tidak terpancing dengan pernyataan ataupun unggahan yang memicu emosi kita di media sosial.
Apalagi pejabat dan pegawai publik-seperti Thomas Djamaluddin dan Andi Pangerang Hasanuddin-pun seyogianya tak perlu mengunggah sesuatu di luar kapasitas mereka sebagai pakar astronomi. Jika mereka melakukan itu secara sengaja dan sadar, bukan tak mungkin hukuman pidana siap menanti.
Sayang sekali, jika Lebaran yang semestinya menjadi Hari Kemenangan justru berubah menjadi 'Hari Kebencian'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H