Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kecerdasan Buatan dan Algoritma Akan Menggantikan Wartawan?

11 Februari 2023   17:13 Diperbarui: 22 Februari 2023   09:53 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kecerdasan buatan. (Sumber: Freepik)

Wah! Lama-lama robot ini bisa lebih pintar dari kita, Don!
Iya, bener! Lama-lama die jadi kite, kite jadi die. Cuman die ada kurangnya satu; gak bisa protes.
Siapa bilang? Bisa kalau boleh.
Eh, sama juga bohong....

Itulah secuplik dialog dalam film Sama Juga Bohong (1986) yang disutradarai oleh Chaerul Umam dan Warkop DKI menjadi pemeran utamanya. Dialog tersebut bisa dikatakan menggambarkan kepuasan sekaligus kekhawatiran atas pekerjaan manusia yang tergantikan oleh mesin.

Meski jarang diangkat di film-film produksi Tanah Air, namun kisah soal teknologi yang menggantikan kerja manusia, jamak digambarkan di film-film produksi Hollywood sejak lama. Salah satu yangI melegenda hingga saat ini adalah Terminator. Film yang identik dengan Arnold Schwarzenegger ini menceritakan antara lain tentang eksistensi manusia yang tergantikan oleh kecerdasan buatan yang ada dalam sistem komputer yang saling terkait.

Dan sejak pendiri Intel Gordon Moore pertama kali menulis editorial tentang perkembangan dunia komputasi pada 19 April 1965, perkembangan teknologi yang menyerupai pekerjaan manusia terus terjadi. Teknologi dan kecerdasan buatan juga pada akhirnya melanda dunia jurnalistik sesuai dengan perkembangan masa.

Hingga tibalah saatnya kecerdasan buatan benar-benar digunakan untuk menggantikan beberapa tugas wartawan. 

Pada 2014, kantor berita Associated Press menggunakan artificial intelligence (AI) untuk merilis laporan keuangan. 

Lalu pada 2016, Washington Post menggunakan teknologi Heliograf untuk memproduksi berbagai laporan singkat dalam event Olimpiade Brasil.

Saat ini penggunaan AI kian meluas, termasuk dalam dunia jurmalistik. Dengan menggunakan metode natural language processing (NLP) yang tepat, maka chatbot akan mampu untuk menulis sebuah berita yang utuh, layaknya pekerjaan seorang wartawan manusia.

Di jagad media sosial, kita tentu kerap menemukan akun bot yang bisa diprogram untuk memberi tanggapan atau komentar terhadap unggahan di media sosial. Dan dengan perkembangan media sosial ditambah besarnya jumlah pengguna medsos di Indonesia, maka algoritma dalam penyampaian berita kepada masyarakat khususnya di media sosial menjadi sesuatu yang tak bisa terbendung lagi.

Sekedar informasi, algoritma media sosial yakni sebuah sistematis pengguna dengan cara mencari apa konten (tulisan, foto, atau video) yang dicari pengguna, yang disukai pengguna, yang sering dilihat pengguna, yang diikuti pengguna sehingga menampilkan konten-konten yang sesuai dengan interest pengguna tersebut sehingga acap kali smartphone dikatakan merekam percakapan pengguna.

Dalam hal ini, algoritma pemberitaan akan memilah, memilih, dan menyaring informasi yang akan disampaikan kepada seorang pengguna media sosial. Secara kasat mata memang media sosial menjadi sarana utama untuk mencari berita dalam beberapa waktu terakhir.

Setidaknya demikianlah yang tergambar dari hasil survei yang dilakukan oleh Katadata Insight Center dalam dua tahun ke belakang.

Grafis penggunaan media sosial di Indonesia. (Sumber: Tangkapan layar Katadata.co.id)
Grafis penggunaan media sosial di Indonesia. (Sumber: Tangkapan layar Katadata.co.id)
Soal algoritma dalam pemberitaan (yang diakses melalui media sosial) ini juga nyatanya menjadi sorotan Presiden Joko Widodo, dalam peringatan Hari Pers Nasional di Medan pada 9 Februari 2023 lalu.

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini menyebut, saat ini penyebaran informasi di masyarakat justru dibanjiri oleh sesuatu yang disebut 'media tanpa redaksi'. Media jenis baru itu kebanyakan hanya dikendalikan oleh AI yang hanya mementingkan sisi komersil semata.  

"Algoritma raksasa digital cenderung mementingkan sisi komersial saja, hanya akan mendorong konten-konten recehan yang sensasional," ujar Jokowi.

Menurutnya, keberadaan algoritma raksasa digital berpotensi mengancam jurnalisme yang bertanggung jawab, sehingga media konvensional yang memiliki redaksi dalam mengabarkan berita justru makin terpinggirkan.

Tapi memang begitulah kenyataannya. Perkembangan media sosial menjadikan penggunanya semakin mudah mengakses informasi tanpa harus membaca media konvesional terlebih dahulu. Apalagi di masa pandemi kegiatan bermedia sosial menjadi antitesis dari kegiatan sosial seiring diperlakukannya pembatasan sosial.

Namun benarkah perkembangan teknologi yang 'diwakili' oleh kecerdasan buatan dan algoritma media sosial, saat ini mengancam keberadaan wartawan manusia dan eksistensi media konvensional yang menaungi wartawan tersebut?

Kalau melihat kondisi sekarang, rasa-rasanya media konvensional masih belum sampai tahap benar-benar terpinggirkan. 

Sepengamatan saya, justru media konvensional mencoba beradaptasi dengan perkembangan teknologi termasuk perkembangan media sosial. Karena kita semua tentu sepakat, kian berkembangnya teknologi dan media sosial adalah sebuah keniscayaan yang tak mungkin terhindarkan.

Media sosial juga kini banyak menjadi rujukan bagi media konvensional dalam membuat konten pemberitaan maupun perbincangan. Bahkan sekarang ada fenomena manusia penghasil konten di media sosial malah dimanfaatkan oleh media konvensional untuk menaikkan jumlah pemirsa, yang akan ditransmisikan dalam bentuk pundi-pundi bagi media konvensional yang bersangkutan.

Contohnya, Fajar Sadboy yang setelah terkenal akibat curhatnya di media sosial diundang ke berbagai acara dialog di media konvensional televisi, dan dijadikan bahan berita oleh media cetak maupun daring.

Sebelum Fajar Sadboy, ada Intan Sriastuti yang viral juga karena curhatnya di media sosial memplesetkan lagu Cukup Dikenang Saja.

Nah, jika bicara soal perkembangan teknologi yang melanda dunia jurnalisme, maka kembali lagi ke dialog Indro Warkop dalam film Sama Juga Bohong yang saya kutip di atas, meskipun sebuah mesin sudah mampu mengerjakan beberapa tugas manusia, namun ada hal-hal tertentu yang sulit dikerjakan oleh mesin.

Setidaknya sampai sebuah jurnalisme mesin bisa merencanakan peliputan, menggali dan mengumpulkan data secara komprehensif untuk pemberitaan, mewawancara narasumber untuk menguatkan data, menulis hasil pengumpulan data dan hasil wawancara dengan menggunakan sentuhan seni, dengan hasil akhir sebuah berita yang memiliki logika.

Bisakah robot algoritma tanpa redaksi berita melakukan itu? Kalau iya, maka itulah saat yang disebut senjakala jurnalis manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun