Selain pendanaan lewat APBN, kritik lainnya yakni terkait jarak Jakarta-Bandung yang relatif dekat, hanya sekitar 150 kilometer, sehingga dinilai akan membuat kecepatan kereta cepat kurang maksimal.
Dan dengan lokasi stasiun transit di Padalarang, banyak warganet yang memplesetkan nama proyek ini menjadi Kereta Cepat Halim-Padalarang, atau Kereta Cepat Jakarta-Bandung Barat.
Nah, ketika saya membuka diskusi soal wacana penghentian layanan Argo Parahyangan seiring akan mulai beroperasinya kereta cepat ini, di sebuah forum diskusi transportasi, ada yang berkomentar menyeletuk sarkastis "Nggak sekalian tutup saja itu Tol Cipularang?"
Sebagai salah satu dari sekian banyak orang Jabodetabek yang kerap berkunjung ke Bandung, sampai detik ini saya pribadi masih belum berencana menggunakan Kereta Cepat Jakarta-Bandung, jika nanti sudah beroperasi. Alasan utamanya adalah kepraktisan.
Dan bicara soal kepraktisan, moda transportasi mobil penumpang umum antar kota (travel) menjadi yang hampir selalu saya gunakan untuk saat ini. Karena moda transportasi ini menggunakan shuttle, dan titik naik dan turunnya pun tersebar di banyak titik di kota Bandung dan Jabodetabek.
Selain itu, jadwal keberangkatan yang hampir tiap jam juga menjadi alasan saya menggunakan travel untuk bepergian dari Jakarta ke Bandung ataupun sebaliknya. Dan dengan posisi titik berangkat dan titik tiba yang banyak, saya bisa menyesuaikan di mana saya bisa turun di lokasi yang terdekat dengan tujuan saya.
Dengan demikian, waktu perjalanan Jakarta-Bandung bisa diminimalkan apabila ditempuh menggunakan travel. BTW saya menulis ini bukan 'di-endorse' oleh perusahaan travel lho yaa. Cuma mau memberi perbandingan saja.
Sebagai contoh. Saya pernah berangkat dari titik awal keberangkatan sebuah travel dari kawasan Jalan Dipati Ukur, Kota Bandung, pada pukul 05:00 WIB, dan dengan kondisi jalanan lancar, saya tiba di Gedung Bursa Efek Indonesia, kawasan SCBD, Jakarta, pada pukul 07:20 WIB.
Ini sedikit lebih efektif daripada jika saya harus naik kereta Argo Parahyangan dari Stasiun Bandung dan tiba di Stasiun Gambir dalam tempo 3 jam, dan harus menyambung naik modal transportasi lain menuju kawasan SCBD.
Dalam kasus lain yang sama-sama di bidang transportasi rel versus jalan raya, kereta bandara Soekarno Hatta menjadi contoh kurang diminatinya transportasi berbasis rel ini. Salah satu penyebabnya ya karena kepraktisan juga. Jika dibandingkan dengan moda transportasi bus atau travel bandara, kereta bandara kalah jauh.
Apalagi sesampainya di Stasiun Bandara Soekarno Hatta, penumpang masih harus menggunakan skytrain untuk menuju terminal keberangkatan pesawat. Ini berbeda dengan Kereta Bandara Kualanamu yang terintegrasi stasiun kereta dengan bandara.