Nofriansyah Yosua Hutabarat dan Munir Said Thalib. Dua nama yang hadir dalam pikiran saya di bulan September 2022 ini, karena keduanya mengisi linimasa pemberitaan pada 7 September 2022 lalu.
Yosua dan Munir telah sama-sama telah mendahului kita. Sama-sama meninggal dengan cara yang tragis.
Bedanya, Yosua alias Brigadir J mulai ramai disebut namanya setelah dinyatakan meninggal usai baku tembak di rumah komandannya, Irjen Pol Fredy Sambo, pada 8 Juli 2022. Sementara Munir wafat usai diracun arsenik pada 7 September 2004 dalam penerbangan Garuda Indonesia GA-974 dari Jakarta ke Amsterdam melalui Singapura.
Dan hingga kini kematian kedua orang tersebut belum juga terungkap hingga tuntas.
Adapun proses hukum kasus tewasnya Brigadir J masih berlangsung hingga saat ini.
Sementara dalam kasus tewasnya Munir-- yang dikenal sebagai aktivis hak asasi manusia dan pendiri KontraS (penulisannya harus menggunakan S huruf kapital, karena juga bermakna Kontra Soeharto)---proses hukum pernah dilakukan. Pengadilan menjatuhkan vonis 14 tahun penjara pada pilot Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Priyanto dan memvonis direktur utama Garuda Indonesia saat itu Indra Setiawan 1 tahun penjara.
Kasus Munir pun menyeret dugaan keterlibatan petinggi Badan Intelejen Negara. Meski hingga saat ini, tidak ada petinggi BIN yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Pun demikian mantan Deputi V BIN Muchdi Purwoprandjono yang sempat menjadi terdakwa dalam kasus tewasnya Munir, juga divonis bebas dari segala dakwaan.
7 September tahun ini, kasus Munir memasuki kadaluarsa karena akan melampaui 18 tahun sejak peristiwa terjadi. Hal itu karena konstruksi yang dibangun dalam penyelesaian kasus Munir adalah pembunuhan biasa.
Namun, kasus Munir tetap bisa diproses dan tidak ada kata kedaluwarsa jika sudah ditetapkan sebagai kasus HAM Berat.
Di sisi lain, Komnas HAM --yang juga tengah disibukkan oleh kasus tewasnya Brigadir J--saat ini sudah membentuk tim Ad Hoc untuk menetapkan kasus Munir sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Komisioner Komnas HAM bidang Penelitian Sandrayati Moniaga seperti dikutip Kompas.com pada 7 September 2022 menjelaskan, argumen kasus pelanggaran HAM berat di kasus pembunuhan Munir diambil dari dokumen pengadilan kejahatan internasional atau International Criminal Court.
Basis dokumen tersebut pun bisa digunakan sebagai argumen untuk menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat. Dan Komnas HAM pun menilai penetapan pelanggaran HAM berat untuk kasus Munir juga dinilai tak bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia.
Singkat kata, penuntasan kasus pembunuhan Munir saat ini masih jauh dari tuntas. Masih panjang episode-episode yang harus dilalui untuk mencapai kata selesai. Karena memang proses hukum di negeri ini masih menyisakan celah waktu yang panjang untuk perjalanannya.
Dan bertepatan dengan 18 tahun kasus Munir, sebuah postingan yang menggelitik sisi skeptis saya datang dari sutradara kawakan Hanung Bramantyo. Dalam postingan di akun instagramnya pada 7 September 2022, suami aktris Zaskia Mecca ini mengaku sempat pernah ingin membuat film tentang Munir. Namun belum juga proses pembuatannya dimulai, Hanung sudah mutung setelah setelah ditelepon seseorang yang mengaku pensiunan tentara.

Sutradara film Ayat-ayat Cinta ini mengaku tak jadi membuat film karena perasaanya jadi tak enak usai ditelepon itu, sehingga rencana membuat film tentang Munir pun batal terwujud.
Dan di akhir postingan instagramnya, Hanung menyentil soal proses penegakan hukum di negeri ini dengan kata-kata "Melihat tragedi Duren Tiga, saya jadi paham kalau keadilan sulit ditegakkan jika menyentuh aparat,"
Yang menarik buat saya dari postingan Hanung, adalah kata-kata "Sampai hari ini kematian Munir Said Thalib, aktifis kemanusiaan, salah satu pendiri Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan) masih jadi misteri. Pelakunya sudah tertangkap, tapi dalangnya masih bebas. Siapa dia? Yang jelas orang kuat. Mungkin Aswatama"
Tentu bukan alasan jika Hanung menggunakan analogi 'Aswatama' sebagai dalang pembunuh Munir, meski mungkin maksud dari analogi ini adalah sebuah kelakar belaka. Aswatama sendiri merupakan salah satu tokoh dalam wiracarita Mahabharata.
Saya pun menafsirkan ketakutan Hanung untuk membuat film Munir, karena dagdigdug akan bernasib seperti Brigadir J, alias diancam oleh Aswatama.
Nah, kenapa analoginya Aswatama sebagai gambaran (oknum) aparat yang membunuh?
Pertama, Aswatama merupakan musuh dari Pandawa Lima. Sementara Pandawa Lima kerap digambarkan sebagai tokoh baik dalam kisah-kisah yang terinspirasi dunia pewayangan. Mungkin dalam hal ini, Hanung merujuk pada film karyanya sendiri: Satria Dewa Gatotkaca
Kedua, Aswatama jarang disebut dalam kisah pewayangan, namun dia "terkenal" dalam pembunuhan terhadap lima putra Pandawa dan janin yang dikandung oleh Utari, istri Abimanyu. Othak athik gathuk saya pun mengatakan Aswatama ini menjadi gambaran Irjen Ferdy Sambo, yang menjadi semakin terkenal setelah peristiwa pembunuhan yang menggegerkan negeri ini.
Ya, sebelum tewasnya Brigadir Yosua, mungkin banyak yang tidak mengenal siapa itu Ferdy Sambo. Tetapi setelah kasus tewasnya Yosua alias Brigadir J terungkap dengan segala penyebabnya, bisa dikatakan Ferdy Sambo jadi perwira tinggi Polri yang paling terkenal saat ini.
Sayangnya, perwira dengan dua bintang di pundak ini terkenal akibat hal buruk, dan memperparah citra buruk kepolisian di masyarakat.
Ketiga, Aswatama merupakan satu dari tujuh prajurit besar yang membunuh Abimanyu, dalam sebuah pertarungan yang tak adil dan keji. Dalam peristiwa itu, tujuh prajurit besar menyerang dari semua sisi, dan terus menyerang bahkan ketika Abimanyu sudah kehilangan senjatanya dan menjadi tak berdaya.
Tadinya, saya sempat berfikir sepertinya menarik kalau peristiwwa pembunuihan Brigadir Yosua menarik kalau dijadikan sebuah kisah film. Karena ini peristiwa penembakan bukan penembakan biasa namun ada banyak drama yang mengiringinya, dan drama itu masih berlangsung hingga detik ini.

Tapi setelah membaca postingan pengalaman Hanung Bramantyo, ya saya pun berhenti berharap ada sineas yang mau membuat filmnya. Bisa-bisa "diteror" oleh 'Aswatama' yang lain lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI