Salah satu tujuan utama ibadah puasa, rasanya juga untuk semua ibadah, ialah melahirkan sikap rendah hati (tawadhu). Kenapa demikian ?? Karena semua ibadah adalah perjuangan spiritual mendekatkan diri kepada Allah yang Maha Mulia dan mendekatkan diri kepada hamba-hamba Allah. Â Buah puasa adalah akhlaqul karimah, tumbuhnya akhlaq yang mulia. Ungkapan tidak ada puasa bagi orang yang suka berkata kasar dan suka memaki, termasuk juga kegemaran berkata-kata kotor.
Dalam kerangka berpikir seperti di atas dengan mudah kita mengutip sabda Nabi Muhammad SAW " Puasa adalah perisai. Janganlah berbuat keji pada hari itu dan janganlah berbuat bodoh. Jika diajar berkelahi atau dihina, katakanlah 'aku berpuasa'" (HR Bukhori) . Puasa adalah perisai, dengan puasa kita mencegah diri dari perbuatan tercela. Ketika kita mau marah, hati kita akan mengingatkan "Kamu puasa lho...", dengan perlahan emosi kita akan menurut. Jika emosi kita tidak menurun, maka puasa kita akan berada di bibir jurang kegagalan. Pada saat kita ingin menceritakan aib orang lain, hati kita akan menegurnya " Kamu sedang berpuasa..".
Aspek di atas puasa dalam makna sosial (hubungan dengan sesama manusia), dalam Islam sikap benar tidak hanya apa yang terlihat dalam tindakan, tetapi apa yang menggerakkan ia mengerjakan sesuatu itu menjai faktor penentu juga. Ingat sabda nabi ' "Sesungguhnya Amal tergantung dengan niat, dan sesungguhnya setiap urusam sesuai maksudnya. Maka barangsiapa hijrah kepada Allah dan rasulNya maka hijrahnya untuk Allah dan rasulnya, dan barangsiapa yang hijrah untuk dunia yang disukainya atau karena wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya kepada maksud hatinya dia berhijrah" (HR  Bukhori dan  Muslim).
Aspek hati menjadi sangat penting. Salah satu penyakit hati yang bisa merusak kebaikan puasa kita adalah sikap tidak ikhlas yang didalamnya meliputi sikap riya (ingin pamer) dan sum'ah (ingin memperdengarkan kebaikan kita) dan tidak boleh diabaikan sikap ujub dan takabur (sikap merasa lebih baik dan sombong). Semua itu akan menjadi ombak yang akan menggerus kebaikan yang kita lakukan. Seperti rayap-rayap yang menggerogoti amal ibadah kita. Riya' dan sum'ah itu akan menghancurkan kebaikan kita.
Salah satu godaan terbesar dari orang yang rajin beribadah merasa lebih baik dari yang lain dan cenderung mengabaikan orang lain yang dianggapnya lebih rendah. Ketika kita merasakan gejala seperti itu, maka ingatlah ibadah yang kita melakukan bukan karena kita hebat  tetapi karena Allah memberikan kita kekuatan dan kemudahan bagi kita untuk mampu mengerjakan sebuah kebaikan. Jika kita bisa berpuasa, karena Allah memberikan kepada kita nikmat kesehatan.
Saat Allah memberikan kita nikmat ilmu yang luas, dengan mudah kita mempunyai pemikiran orang-orang harus menghormati kita karena kita ini berilmu. Ketika orang-orang tidak menghormat kita, ada rasa sakit hati dalam diri kita. Apalagi saat Allah melapang rejeki kita yang ditambah dengan kemuliaan jabatan, kita akan berbangga-bangga dengan semuanya itu. Di saat kita tidak mendapat layanan yang baik ditempat publik, hatiku akan mudah merasa tersinggung " Lho.. aku ini pejabat tetapi kalian tidak mau menghormati."
Perasaan kita adalah godaan terbesar bagi kita. Sepertinya iblis dengan segala kebaikannya sebelum Adam diutus sebagai khalifah, iblis termasuk makhluk yang taat kepada Allah. Ketika kesombongan itu masuk ke dalam pola pikir iblis, lalu merasa lebih baik dari Adam, kebaikan iblis musnah, tingginya ilmu tidak menjadikan dia menjadi lebih baik karena tidak mampu menjadikan dirinya rendah hati. Logika iblis, seharusnya Adam yang menghormati aku, bukan aku yang menghormati Adam. Bukankah aku lebih baik dari Adam, aku dari api sedang Adam dari tanah.
Ketika rajin ibadah lalu, muncul pemikiran "aku lebih baik dari dia, aku rajin sholat dan dia tidak rajin sholat. Aku rajin berbuat baik, sementara dia jarang menghiasi dirinya dengan kebaikan". Logika itu akan berkembang "seharusnya ia menghormati aku, karena aku lebih baik". Hati-hatilah dengan pemikiran seperti ini dalam diri kita, jauhkan diri kita dari perasaan ingin dihormati.
Lalu jika kita puasa, lalu kita minta meminta orang lain menghormati kita. Pertanyaan yang muncul, logika apa yang menjadikan kita ingin dihormat?? Pantaskah kita mengharapkan orang lain menghormati?? Jika seseorang "menganggu kita" seperti ajakkan berkelahi, bukankan kita mengatakan "Maaf saya sedang berpuasa." Atau mungkin saat kita berpuasa ada yang menawari kita makanan atau minuman, bukankah kita diminta menjawab "Maaf aku sedang berpuasa.". Bukan dengan sikap marah dan berkata " Heh... kamu harus menghormati aku lho... aku sudah berpuasa." Jika kita berkata seperti ini rasanya puasanya kita telah kehilangan hakekatnya.
Tidak seharusnya kita meminta orang menghormati kita saat kita berpuasa. Toh logika kita akan setuju "orang yang terhormat tidak akan minta dihormat, orang mulia tidak berharap dimuliakan. Ketika kita minta dihormati, maka akan berkurang tingkat kehormatan kita. Begitu pula dengan kemuliaan kita." Karena memang bukan itu tujuan kita berpuasa, puasa dalam upaya kita untuk memantaskan diri kita menjadi orang yang mulia di sisi Allah dan dalam kehidupan sosial bermasarakat. Dan, sikap mulia dalam diri kita adalah saat kita rendah hati dan tidak mengharapkan orang lain menghormati kita. Kita buktikan, dengan puasa kita mampu menahan hawa nafsu, termasuk hawa nafsu ingin dihormati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H