Mohon tunggu...
Agus Zain Abdullah ElGhony
Agus Zain Abdullah ElGhony Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati masalah budaya dan agama

Pemerhati masalah budaya dan agama

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Nilai Puasa di Ujung Lesan

23 Maret 2023   17:13 Diperbarui: 23 Maret 2023   17:24 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Jika suatu hari anda ditanya, hari ini puasa?? Kita menjawab "Iya" atau mungkin kita menjawabnya "tidak!". Ketika kita menjawab iya atau tidak, pada saat itu kita tahu apa yang dimaksud dengan puasa. Lalu apa makna puasa itu dalam keseharian kita?? Apa yang kita pahami dengan puasa, dengan mudah kita akan menjawab "Puasa adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa, dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari." Itu namanya definisi puasa secara Fiqih, hampir semua kitab fiqih mendefinisikan puasa seperti itu. Tidak ada yang salah dalam definisi ini, benar itulah pengertian puasa. Artinya seseorang yang telah melakukan amaliah seperti pengertian itu sudah bisa disebut sudah berpuasa.

Fiqih mendefiniskan sebuah amaliah berdasarkan sisi konkret yang bisa kita amati atau dengan mudah kita bisa menggunakan sebagai ukuran. Misalnya jika anda ditanya apa pengertian sholat, maka dengan mudah anda akan menjawab " Sebuah ibadah yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, yang di dalamnya ada gerakan dan bacaan tertentu." Dengan pengertian kita bisa dengan menyimpulkan seseorang  sudah mengerjakan sholat atau belum.

Apakah pengertian puasa hanya akan berhenti pada makan fiqih di atas?? Rasanya tidak, karena Nabi Muhammad SAW bersabda "Berapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak ada baginya pahala puasa kecuali lapar dan haus." Kesimpulan yang bisa kita ambil "orang yang menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari, belum bisa disebut puasa. Di depan Allah belum layak disebut puasa, hanya haus dan lapar saja." Lalu apa kreteria puasa pada tingkatan seperti ini ??

Jika kita menggunakan hadits ini, maka dimensi yang akan kita ukur dengan puasa akan semakin naik. Tidak hanya menggunakan kalimat sederhana yang digunakan mengukur amaliah jasmaniah kita, tetapi juga amaliah hati kita. Pengertian pada tingkat seperti ini akan lebih rumit bahkan cenderng abstrak, artinya kita tidak bisa mengukurnya. Seseorang puasa harus ikhlas hanya mengharap ridho Allah, bagaimana kita bisa mengukurnya ??.

Jika kita susun dalam pengertian pada tingkatan seperti ini, kita akan dapat menyusun pengertian puasa "Puasa adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa, dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari, yang semua itu dilakukan dengan niat beribadah kepada Allah.". Ada kata tambahan "niat beribadah". Niat, bagaimana mengukurnya? Tentu menjadi sesuatu yang sangat personal sekali, bahkan yang menjalankan sendiri akan mengalami kesulitan dalam mengukurnya. Yang bisa dilakukan hanya meningkatkan kualitas puasanya atau ibadah yang lain seperti sholat dan zakat. Sehingga apa yang dilakukannya benar-benar ibadah.

  Amaliah hati seperti niat, yang biasa diterjemahkan "kecenderungan hati untuk melakukan sesuatu baik diucapkan maupun tidak diucapkan". Ketika kita melakukan ibadah, kecenderungan hati kita melakukan apa atau untuk siapa, adakah target-target sosial di dalamnya. Menjadi rahasia yang paling rahasia dari seluruh amal ibadah manusia kepada Allah. Dari cara berpikir seperti ini, pastilah kita tidak akan bisa menilai ibadah orang lain, jangankan ibadah orang lain, ibadah diri kita sendiri kita tidak bisa menilainya.

Dimensi di atas hanyalah dimensi puasa dalam kaitannya secara teologis saja, belum dalam makna sosialnya. Jika kita ingin membuat pengertian puasa dalam kaitannya dengan makna sosial, kita bisa menambahkan dimensi tersebut dalam pengertian yang kita susun, misalnya akan menjadi seperti ini "Puasa adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa, dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari, yang semua itu dilakukan dengan niat beribadah kepada Allah, dan dengan menjauhkan diri dari segala sesuatu yang bisa mengurangi kualitas puasa."

Kalimat " dan dengan menjauhkan diri dari segala sesuatu yang bisa mengurangi kualitas puasa" mempunyai makna yang sangat luas sekali, meliputi berbagai aspek teologis dan sosiologis. Sehingga saat kita ditanya, apakah anda sudah berbuasa, maka kita akan ragu apakah kita sudah berpuasa atau belum. Karena pengertian puasa begitu luas sekali, jika kita sudah meninggalkan segala sesuatu yang membatalkan puasa bukan berarti kita sudah berpuasa, karena hati kita puasa hanya karena kepentingan sosial saja bukan niat ibadah kepada Allah yang maha pemberi pahala.

Bisa jadi kita sudah puasa dengan niat karena Allah, tetapi masih ada dimensi sosial yang belum kita raih. Misalnya, ketika kita berkata "puasa tetapi masih belum menjaga lesan", artinya hakekat puasa belum ada dalam diri kita. Pada tingkat yang lebih tinggi, kita belum berpuasa, karena aspek yang menjadi ciri orang berpuasa tidak ada pada diri kita, seharusnya orang yang berpuasa bisa menjaga lesan. Ketika lesan kita belum bisa kita jaga dengan baik, artinya kita belum berpuasa. Bisa jadi, menahan lapar dan haus kita hanya bermakna 'diet saja' bukan ibadah kepada Allah.

Puasanya kita secara sosial, berada di ujung lesan kita Lesan kita adalah ceminan pikiran dan hati. Tentu dengan asumsi lesan kita mewakili pikiran kita dan hati, jika kita sering mengucapkan yang tidak sesuai dengan pikiran kita, maka itu berbahaya bagi kita. Kita sering terjebak mengucapkan kata-kata tanpa terlebih dulu kita pikirkan dampaknya. Belajarlah menjaga lesan kita agar bisa memastikan yang keluar dari lesan kita ada kebaikan bagi kita dan orang di sekitar kita.

Jika kita ditanya hari ini anda berpuasa?? Tentu jika kita menjawab secara fiqih mudah menjawab, tetapi secara hakekat tidak mudah, menjaga mulut tidak makan relatif mudah tetapi menjaga hati dan lesan butuh perjuangan yang lebih serius. Belum lagi ada dimensi sosial yang belum bisa kita lakukan, kepedulian terhadap fakir miskin dan  sikap sosial di masarakat. Akhirnya kita tidak yakin kita telah benar-benar sudah berpuasa atau belum berpuasa. Yang ada dalam diri kita kita wajib berpuasa dan selalu berusaha meningkatkan kualitas puasa kita, selebihnya biar Allah yang menilai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Hantu Pocong Lembang, Hiburan Siang di Jalan Macet!

4 bulan yang lalu
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun