Mantan menteri Pemuda dan Olah Raga, Imam Nahrawi divonis 7 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 3 bulan kurungan (Kompas.com. Senin 29 Juni 2020). Apa arti berita ini, bagi kehidupan kita?
Tidak mudah menjawabnya, di negeri yang entah sudah berapa banyak pejabat yang tiba-tiba berubah menjadi terdakwa lalu divonis bersalah secara hukum. Imam Nahrawi bukan menteri pertama yang harus berumah di penjara. Dan kelihatannya bukan juga yang terakhir.
Korupsi? Mungkinkah kita tidak tahu bahwa itu "dosa" atau setidak-tidak sesuatu yang merugikan banyak orang. Sehingga mampu menahan diri dan pikiran kita dari kehendak untuk melakukannya. Ada banyak padanan kata korupsi yang entah mengapa sering menjadi jalan untuk melakukan sesuatu yang menyimpan.
Gratifikasi, suatu istilah yang menjelaskan bagaimana sebuah kejahatan bisa muncul dari mana saja. Saat seseorang ingin mengurus proyeknya, lalu datang "sitarurahmi" ke rumah. Terjadi proses "kemanusiaan" saling memahami atau setidaknya-tidaknya seperti permainan "tit for tat" saja. Bisa juga hadiah, bantuan kampanye dan segala selubung lainnya.
Beaya politik yang mahal, menjadi salah satu sebab  yang memperbesar peluang terjadinya korupsi. Saat para pejabat sedang ingin mengembalikan modalnya.
Di saat membutuhkan dana-dana politik lalu ada yang "menawarkan" kerja sama, mungkin seorang pengusaha yang mempunyai kepentingan "investasi politiknya", bisa juga ada anggaran yang mungkin dipermainkan seperti dana hibah, anggaran yang ada dalam kekuasaannya bisa ditenderkan " Anda berani memberi berapa agar dana itu keluar??"
Kisah seperti ini akan seperti sebuah roman picisan yang memuakkan. Yang lebih memuakkan lagi kita akan sering melihatnya, pada puncaknya kita akan mulai bosan dan menganggapnya biasa saja. Sekarang Imam Nahrawi, besok siapa lagi?
Dulu menteri yang tampil mentereng di depan TV dengan semangat anti korupsi, lalu tertangkap korupsi. Mungkin kita masih ingat kasus yang melibatkan Anas Urbaningrum yang  pada waktu itu ketua umum Partai Demokrat atau kasusnya Luthfi Hasan Ishaq (LHI) yang pada waktu itu presiden PKS. Dan ada banyak dereten kasus yang kalau kita tulis cukup untuk menjadi sebuah buku yang bisa setebal bantal.
Justru yang paling menarik dari kasus korupsi di Indonesia, para terdakwa seringkali merasa menjadi "korban". Â Merasa kalau korupsinya "berjamaah", tetapi dia harus bertanggung jawab sendiri. Bersama makan nangka, tetapi dia hanya sendiri yang terkena getahnya.
Para terdakwa korupsi itu merasa seperti orang yang tertangkap melanggar marka jalan, saat ditangkap polisi karena melanggar ia menolak, alasannya banyak orang yang melanggar, ia baru bersedia dihukum jika semua yang melanggar juga dihukum.
Korupsi itu uangnya mengalir sampai jauh, akhirnya kita tidak pernah ditebak. Imam Nahrawi, mungkin tidak sendirian, ada banyak aliran yang menerimanya mungkin kecipratan.