Beberapa kali saya tekejut sosok yang sering mengubar kata makian di media sosia menjadi nasa sumber sebuah acara TV dan sebuah seminar.Â
Begitu cepatkan demokrasi kita melangkah? Sehingga bisa menerim caci maki, tidak hanya saling mencaci tetapi menuding anti pancasila dan satunya sebagai ingin mengubah pancasila.
Dua kutub yang rasanya sangat keras, tuduhan anti pancasila dan mengubah pancasila menjadi tudingan yang saling mematikan. Tapi seharusnya demokrasi yang dewasa cukup saling menyindir dan mengingatkan. Bukan saling mencaci.
Tradisi menggunakan cacian tidak hanya di kalangan biasa, bahkan di kalangan yang ada di menara gading akademik seperti para dosen dan para mahasiswa lainnya.Â
Kata kata dungu, bodoh, stupid, tolol, babi, anjing, yang dalam budaya kita menjadi kata tidak sopan, sekarang di era reformasi karena sering diucapkan menjadi biasa.Â
Presiden Jokowi seringkali menjadi sosok yang paling banyak dituding dengan kata-kata yang memvonis bahkan menfitnah. Mulai dari kata tidak faham pancasila, presiden bonek, plonga-plongo, sesuatu yang tidak layak diucapkan seseorang yang mengaku pancasilais.
Pancasila adalah kesepakatan agung pendiri bangsa ini. Â Di dalamnya ada semangat dan nilai-nilai yang luhur untuk dijadikan pondasi keberagamaan negara kita.Â
Tetapi kita semua pastilah belum mampu mengamalkan semua  butir-butir pengamalan pancasila, tetapi kita juga berharap tidak disebut anti pancasila atau tidak pancasilais karena belum mengamalkan sila-sila dalam pancasila. Jika ada perilaku dari rival politik kita, perbuatannya tidak sesesuai pancasila. Bukan berarti dia anti pancasila atau ingin memusuhi pancasila.
Akhirnya, saya Indonesia, saya pancasila, saya belajar berkata yang santun dalam menghadapi perbedaan yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H