Pancasila sebagai dasar negara memuat semacam grand theory (teori besar) untuk kemajuan bangsa Indonesia. Sebagai grand theory ia membutuhkan middle range untuk mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.Â
Sehingga pancasila tidak hanya kembang kata-kata. Misalnya sila pertama dari pancasila adalah "Ketuhanan yang maha esa", dibutuhkan teori-teori kecil yang bisa diwujudkan dalam keseharian.Â
Bagaimana memposisikan sila yang sangat agamis itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitu pula dengan "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" sebagai grand theory, maka ia membutuhkan sesuatu yang lebih aplikatif dan bisa diimplementasikan di tengah-tengah masarakat.
Jika kita membaca sejarah perjalanan bangsa Indonesia semenjak memproklamasikan kemerdekaannya, 17 Agustus 1945. Maka sejarah bangsa ini dipenuhi dengan berbagai tafsir terhadap pancasila sebagai dasar negara.
Jika ditanya siapa yang paling pancasilais, jawabannya bagaimana tafsir anda tentang pancasila itu sendiri. Mayoritas tafsir yang digunakan pada masa itu akan menjadi sebuah kebenaran, walaupun kelak setelah berganti rezim, kebenaran itu dianggap sesuatu yang kurang tepat atau bahkan penyimpangan terhadap pancasila.
Baca juga :Demokrasi Pancasila Pada Masa Orde Baru
Di orde baru, sejak menginjakkan kaki di SMP, semua siswa harus mengikuti Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), calon mahasiswa harus mengikuti penataran P-4 sampai 100 jam.Â
Dalam penataran tersebut, dengan tegas mengkritik pelaksanaan Pancasila di era orde lama yang penuh penyimpangan, mula dari lima sila dalam pancasila yang diperas menjadi tri sila.Â
Dan dari tri sila diperas lagi menjadi eka sila yakni goton royong. Tentu saja politik nasakom yang digaungkan orde lama sebagai bentuk penyimpangan terhadap pancasila itu sendiri. Sehingga dalam penataran orde baru lahir untuk mengembalikan pancasila pada "khittahnya".
Sejak era reformasi bergulir dan orde baru tumbang. Penataran P-4 hanya jadi tembang kenangan. Sekarang dengan mudah kita mengkritik model penataran yang indoktrinasi, tetapi pada zaman orde baru tidak mudah mengkritiknya.
Jika ada yang mengkritik pasti dengan mudah dituduh sebagai anti pancasila. Orde baru menggunakan tafsr tunggal atas pancasila. Semua harus mengikuti, sedikit saja muncul sikap kritis dengan mudah akan dituduh tidak pancasilais, bahkan dianggap sebagai pribadi yang diracuni ideologi PKI.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!